Skip to main content

Posts

Petualangan Seorang Ayah

Pada 5 Mei 47 tahun silam, di sebuah Desa kecil bernama Panciro, lahirlah sosok manusia hebat. Namanya Mursalim. Di masa kanak kanaknya ia akrab disapa "Salim" atau "Saling" (panggilan orang Makassar yang selalu melebihkan huruf "g"). Lain lagi dengan panggilan khusus suku Makassar yang memiliki "Pa'daengang". Nah Mursalim Daeng Sigollo nama lengkapnya. Ia besar di Panciro, meskipun menamatkan SMA di Limbung, daerah yang tak jauh dari Panciro. Lalu kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Tadulako, Palu dan menyelesaikan studi di jurusan Ekonomi Pembangunan. Ia pernah bercerita, pasal ia mengambil jurusan itu karena ia punya cita cita, orang dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, bisa membangun perusahaan. Meskipun, pada akhirnya, ia tidak berhasil mewujudkannya. Saya sengaja menuliskan uraian singkat ini, agar kalian tahu, siapa sosok yang menjadi teladan saya sejak kecil. Ya, dialah ayahku ini. Yang banyak mengajarkan untuk berani, dan

Pranala, Media dan Bedah Buku M. Galang Pratama

Senin, 7 Mei 2018 siang, saya datang ke Kampus II UIN Alauddin yang terletak di Samata Kabupaten Gowa. Ada yang menarik hari itu, sebuah kegiatan bedah buku sekaligus gelar diskusi terkait masalah keperempuanan. Alhamdulah momen ini tidak akan saya lupakan. Sebab baru kali ini, saya diajak kerjasama untuk membedah buku hasil kerja keras saya, tiga tahun terakhir. Sumber Foto: Hairil Akbar Saya tak lupa berterima kasih kepada narasumber yang sudah datang di acara ini. Di antaranya, Dr. Mohd. Sabri AR, seorang Dosen Filsafat Mistik pascasarjana UIN Alauddin, yang dengan kesabarannya, mampu meluangkan waktu untuk acara diskusi tersebut, meskipun banyak mahasiswa yang menunggu diajarnya. Dosen ini salah satu dosen langka di Kampus UIN Alauddin Makassar. Termasuk langka dalam hal literasi dan kepenulisan. Selanjutnya ada Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Badko Sulselbar, Putri Utami Muis. Kakak yang satu ini juga punya keuletan yang tinggi. Bayangkan saja, dia orangnya sibuk,

Kitab Puisi Pranala Siap Dibedah di UIN Alauddin Makassar

Dunia kampus adalah panggung kreativitas. Menciptakan nuansa kreatif menjadi tanggungjawab  Mahasiswa. Sebuah lembaga intra kampus jika ingin dikenang, bukan karena membuat banyak kegiatan dalam satu periode kepengurusan. Akan tetapi bagaimana kegiatan yang dilakukan itu bisa memberi makna besar, di antaranya adalah karena kegiatan tersebut memiliki nilai yang patut diingat bertahun-tahun mendatang karena ada momentum berbeda dari biasanya. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Pidana dan Ketatanegaraan (HPK) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar adalah salah satu contoh. Mahasiswa yang tergabung dalam bidang keilmuan dan keperempuanan, membuat konsep diskusi yang nyaman dan terarah. Salah satu yang tampak berbeda dari kegiatan-kegiatan biasanyanya adalah, karena adanya acara bedah buku.  Bedah buku Pranala sebuah kitab Puisi karya M. Galang Pratama, seorang mahasiswa HPK angkatan 2013.  Salah satu pengusung kegiatan ini, Kasrum Hardin mengatakan kegiatan ini sang

Sehari Bersama Nenek

HARI itu, Senin 23 April 2018 bayangan matahari tegak lurus dengan tubuhku. Seperti biasa, dia merasa ada yang mulai berubah dengan syaraf di kepalanya. Benar sekali, panas matahari yang menyengat membuatnya ingin singgah. Perjalanan dari Bontonompo ke Sungguminasa masih jauh. Ainun Jariah, begitu nama lengkapnya. Dia adalah perempuan yang kini menemani segala aktivitasku. Jelas, seperti kata banyak orang, bertemanlah dengan penulis, maka kauakan abadi. Ya, saya beruntung, karena harapanku untuk abadi melebihi apa pun.  Di perjalanan yang disesaki kendaraan saya memutuskan menjenguk Daeng Subuh. Daeng Subuh adalah Ayah dari ayahku. Saya memanggilnya, "Nenek". Orang lain mungkin akan memberi sebutan "Kakek." Dg. Subuh Ini pengalaman pertama buat Ainun, begitu ia kusapa, mengunjungi rumah Nenek saya. Nenek tinggal di pelosok desa. Jauh dari keramaian. Sejak dulu ia menetap di Desa Bontosunggu, Kabupaten Gowa, bersama keluarganya yang juga kupanggi

Kitab Puisi Pranala - M. Galang Pratama

Sampul Kitab Puisi Pranala Judul? Saya sengaja mengambil judul Pranala, dikarenankan puisi yang termuat di dalam puisi berjudul yang sama cukup mewakili kurang lebih 68 Puisi dalam buku ini. Puisi berjudul Pranala di buku ini menceritakan tentang proses penciptaan karya. Karya yang dibuat susah payah, ternyata ada yang menjiplak --plagiat! Orang orang mudah mengklaim hak cipta. Nah, sikap semacam ini sangat curang, alhasil sulit sekali mendapat sesuatu yang benar benar asli saat ini. "Tak ada asli kecuali hanya imitasi." Demikian salah satu bunyi potongannya. Baris selanjutnya berisi kritikan yang lebih pedas. Silakan baca, jika mau tahu kelanjutan dari puisi tersebut atau jika kauingin merenungi puluhan puisi lainnya, baca! Tanggapan Itu Pranala asing kudengar namun mengoyak sukma, sajaknya kritis dan berontak seakan memanggil jiwa2 yang lemah melakukan perlawanan. Halaman demi halaman kubuka, kadang romantis, kadang pula manis namun pesimis.

Perihal Engkau

Seperti berita tentang perubahan iklim yang tak menentu, perputaran arah mata angin dan fenomena fenomena geografi yang hari demi hari kian memberi banyak tanya Demikian pula hadirnya engkau, yang selalu menjadi perbincangan di hati akhir akhir ini Aku yang terbiasa sendiri sejak mengarungi lautan, kini harus merasa ramai akan celotehanmu yang tak pernah jera Telingamu selalu hangat menampung kabarku yang terbiasa bergejolak seperti deru ombak Aku membayangkan hidupku seumpama makhluk yang hidup di tengah tengah pulau yang sepi, namun aku masih bisa bertahan dengan segala hal yang datang. Makan, minum dan kebiasaan sehari hari lainnya bebas kujalani tanpa tekanan berlebih. Sebab, satu hal kuyakini hingga kini.. Tuhan pasti telah menyimpan rapat satu rahasia perihal dia yang kelak memenuhi dahagaku. Namun, perihal engkau yang kini hadir Mendengar kisah kasih kita di masa silam kadang membuatmu berekspektasi lebih lalu memunculkan rasa pada labirin hatimu Aku belum ju

Yang Tak Karam

dan di antara jam dinding yang berdenting menunggu waktu adalah harapan terakhir kita kau sepasang lengan hujan aku tanah remuk yang kau caci maki meski badai mengempas dinding kapal di tengah lautan aku tetap bersandar pada janjiku aku siap tenggelam kapan pun kapan pun tenggelam aku siap aku percaya selama aku dalam ingatanmu aku pasti akan tiba diseberang sebab penantian dan jarak tak berarti apa apa dibanding luapan doa doa kecil yang tak terdengar dari sudut hatimu.  Phinisi, 2018 Foto: Muchlis Ardi Putra, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta (2018)

Resolusi

#Resolusi, katanya Foto: Arsip Pribadi

Teori

Source: Quora Baru saja ketika saya sudah makan siang di sekitaran Jalan HM. Thamrin (dekat Jl. Bontolempangan, Makassar) seorang Ibu Tua beretnis China, mengeluarkan lembaran berjumlah Rp 15.000,- kepada tukang parkir, meski tidak diminta. *** Sebelumnya, saya menyaksikan sendiri dua orang wanita dari keluarga itu (saya lihat dua wanita dan seorang ibu di dalam mobil) turun memesan soto ayam di warung tempatku makan. Mereka rupanya makan siang di atas mobilnya. Tidak butuh waktu lama, sekitar 10 menit, terdengar suara perempuan dari dalam mobil yang sedang ter-parkir di belakangku.        "Mas, ini mangkuknya." Si penjual pun dengan sigap menuju mobil itu lalu menerima bayaran dari beberapa mangkuk soto ayam yang dipesan pembeli. Begitu setelah dibayar, dia memanggil salah seorang bapak tua yang kebetulan berdiri di belakang mobilnya. Lalu sang ibu mengeluarkan dua lembar uang, pecahan Rp 10.000,- dan Rp 5.000,-. Seketika seorang bapak itu menyodorkan tang

Batu Loncatan

Saya menuliskan ini di saat saya sedang berada di kantor. Alhamdulillah setidaknya hari ini ada pekerjaan yang telah ia "pegang" meskipun masih berstatus kontrak. *** 22 tahun bukan usia yang labil. Angka itu sudah masuk dalam kategori dewasa awal. Beragam tanggungjawab telah ditekuninya hingga saat ini. Namun, proses belajar tidak akan pernah selesai. Masih banyak hal yang masih jadi catatan penting untuk diperbaiki. Perlahan namun pasti, passion yang telah lama diimpikannya itu mulai terlihat hari ini, meski masih samar. Hal inilah yang membuat lelaki yang mengulangi hari lahirnya setiap 28 November itu sedikit lega. Semoga saja hari ini menjadi awal buatnya untuk bisa berdiri di tempat yang telah lama diimpikannya. Berjiwa berani dan penuh tanggungjawab yang pada akhirnya akan menunjukkan kemampuannya yang tersembunyi untuk dimanfaatkan oleh lingkungan sekitarnya. Dan pada akhirnya orangtuanya akan berkata: "Nak, sekarang sudah tiba saatnya..."

Hilang

Source: Antinomi.org Heru Joni Putra, menulis di status Facebooknya . Di statusnya itu saya tangkap bahwa orang orang di zaman ini dengan mudah menjadi pintar karena akses untuk menempuh bahan bacaan seperti tak ada sekat lagi. Menurut penulis buku Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa itu, kecerdasan hari ini bukanlah menjadi barang mewah yang mesti dicari.  Akan tetapi (saya melihat) sebagai bangsa yang mulai berkembang (dan kebanyakan penduduknya buta sejarah; termasuk saya, sehingga sangat mudah diadu domba oleh isu dan berita yang menyesatkan) sudah seharusnya menggalakkan edukasi tentang pentingnya "moral" dalam keterbukaan di dunia saat ini, maya terlebih lagi di dunia nyata. Sepertinya kita memang belum siap dengan perkembangan teknologi yang dengan segala kepraktisannya mampu memberikan informasi mentah untuk segera dikonsumsi.  Ada beberapa hal saya kira, yang mesti kita perbaiki dan renungkan bersama. Saat ini rasa saling memercayai itu p

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog