Skip to main content

Posts

Puisi, Perempuan, dan Cyberculture - Esai Mohd. Sabri AR

SEBUAH puisi lahir ketika semesta lambang, galaksi makna dan realitas bertaut. “ Les mots ne sont pos innocences ,”—tak ada kata-kata yang polos—begitu   pendakuan filsuf Prancis, Pierre Bourdieu. Selalu saja ada ruang yang tersisa pada kata: tafsir, hasrat, dan juga kuasa. Bahasa, bagi Bourdieu, bukan sekadar instrumen komunikasi dan modal kultural, tapi juga tindak-sosial. Itu sebab, kapasitas bahasa aktor sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya. Dr. Mohd. Sabri AR**   (Source: Kabarselatan.com)          Bahasa selalu diproduksi di dalam habitus dan “pasar linguistik”: sebuah arena tempat dimana wacana tercipta. Mungkin itu sebabnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), mengandaikan jika pasar linguistik memiliki language game dan form of life: bahwa setiap bahasa dalam kehidupan yang aneka punya aturan main dan arena yang khas. Senafas dengan Wittgenstein, Bourdieu meletakkan bahasa sebagai sebuah arena, kancah, dan juga pertarungan. Di setia

Petualangan Seorang Ayah

Pada 5 Mei 47 tahun silam, di sebuah Desa kecil bernama Panciro, lahirlah sosok manusia hebat. Namanya Mursalim. Di masa kanak kanaknya ia akrab disapa "Salim" atau "Saling" (panggilan orang Makassar yang selalu melebihkan huruf "g"). Lain lagi dengan panggilan khusus suku Makassar yang memiliki "Pa'daengang". Nah Mursalim Daeng Sigollo nama lengkapnya. Ia besar di Panciro, meskipun menamatkan SMA di Limbung, daerah yang tak jauh dari Panciro. Lalu kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Tadulako, Palu dan menyelesaikan studi di jurusan Ekonomi Pembangunan. Ia pernah bercerita, pasal ia mengambil jurusan itu karena ia punya cita cita, orang dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, bisa membangun perusahaan. Meskipun, pada akhirnya, ia tidak berhasil mewujudkannya. Saya sengaja menuliskan uraian singkat ini, agar kalian tahu, siapa sosok yang menjadi teladan saya sejak kecil. Ya, dialah ayahku ini. Yang banyak mengajarkan untuk berani, dan

Pranala, Media dan Bedah Buku M. Galang Pratama

Senin, 7 Mei 2018 siang, saya datang ke Kampus II UIN Alauddin yang terletak di Samata Kabupaten Gowa. Ada yang menarik hari itu, sebuah kegiatan bedah buku sekaligus gelar diskusi terkait masalah keperempuanan. Alhamdulah momen ini tidak akan saya lupakan. Sebab baru kali ini, saya diajak kerjasama untuk membedah buku hasil kerja keras saya, tiga tahun terakhir. Sumber Foto: Hairil Akbar Saya tak lupa berterima kasih kepada narasumber yang sudah datang di acara ini. Di antaranya, Dr. Mohd. Sabri AR, seorang Dosen Filsafat Mistik pascasarjana UIN Alauddin, yang dengan kesabarannya, mampu meluangkan waktu untuk acara diskusi tersebut, meskipun banyak mahasiswa yang menunggu diajarnya. Dosen ini salah satu dosen langka di Kampus UIN Alauddin Makassar. Termasuk langka dalam hal literasi dan kepenulisan. Selanjutnya ada Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Badko Sulselbar, Putri Utami Muis. Kakak yang satu ini juga punya keuletan yang tinggi. Bayangkan saja, dia orangnya sibuk,

Kitab Puisi Pranala Siap Dibedah di UIN Alauddin Makassar

Dunia kampus adalah panggung kreativitas. Menciptakan nuansa kreatif menjadi tanggungjawab  Mahasiswa. Sebuah lembaga intra kampus jika ingin dikenang, bukan karena membuat banyak kegiatan dalam satu periode kepengurusan. Akan tetapi bagaimana kegiatan yang dilakukan itu bisa memberi makna besar, di antaranya adalah karena kegiatan tersebut memiliki nilai yang patut diingat bertahun-tahun mendatang karena ada momentum berbeda dari biasanya. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Pidana dan Ketatanegaraan (HPK) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar adalah salah satu contoh. Mahasiswa yang tergabung dalam bidang keilmuan dan keperempuanan, membuat konsep diskusi yang nyaman dan terarah. Salah satu yang tampak berbeda dari kegiatan-kegiatan biasanyanya adalah, karena adanya acara bedah buku.  Bedah buku Pranala sebuah kitab Puisi karya M. Galang Pratama, seorang mahasiswa HPK angkatan 2013.  Salah satu pengusung kegiatan ini, Kasrum Hardin mengatakan kegiatan ini sang

Sehari Bersama Nenek

HARI itu, Senin 23 April 2018 bayangan matahari tegak lurus dengan tubuhku. Seperti biasa, dia merasa ada yang mulai berubah dengan syaraf di kepalanya. Benar sekali, panas matahari yang menyengat membuatnya ingin singgah. Perjalanan dari Bontonompo ke Sungguminasa masih jauh. Ainun Jariah, begitu nama lengkapnya. Dia adalah perempuan yang kini menemani segala aktivitasku. Jelas, seperti kata banyak orang, bertemanlah dengan penulis, maka kauakan abadi. Ya, saya beruntung, karena harapanku untuk abadi melebihi apa pun.  Di perjalanan yang disesaki kendaraan saya memutuskan menjenguk Daeng Subuh. Daeng Subuh adalah Ayah dari ayahku. Saya memanggilnya, "Nenek". Orang lain mungkin akan memberi sebutan "Kakek." Dg. Subuh Ini pengalaman pertama buat Ainun, begitu ia kusapa, mengunjungi rumah Nenek saya. Nenek tinggal di pelosok desa. Jauh dari keramaian. Sejak dulu ia menetap di Desa Bontosunggu, Kabupaten Gowa, bersama keluarganya yang juga kupanggi

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog