Skip to main content

Posts

Hari Buku Nasional? Turunkan Harga Buku!

Tulisan sederhana dan singkat ini dibuat dalam rangka menanggapi opini berjudul Andaikan Buku Sepotong Roti yang ditulis   oleh Bachtiar Adnan Kusuma, Harian Fajar 17 Mei 2018. *** Source: int Kamis (17/5/2018) pagi menjelang siang, saya mengunjungi sebuah gerai center salah satu perusahaan operator telelomunikasi seluler di Indonesia. Sembari menunggu nomor antrian, saya melihat sebuah koran yang terparkir begitu saja. Karena merasa kasihan, akhirnya saya mengambil koran itu. Lalu membakarnya. Maksud saya, membacanya. :)  (serius sekali ki bela membaca, he he). Saya membuka halaman opini. Dan ya, saya menemukan tulisan terkait buku. Ditulis oleh seorang yang tidak asing lagi di dunia kepenulisan. Saya pernah dengar dari tetangga jika beliau ini sudah menulis ribuan buku (atau ratusan buku, entahlah. Maaf saya bukan pengingat yang baik). Oke lanjut ke opininya. Namanya Bachtiar Adnan Kusuma. Ia mengawali tulisannya dengan memakai sebuah kalimat yang mengan

Hari Pertama Ramadan: Antara Jarak, Macet, dan Pulang Rindu

HARI pertama bulan Ramadan merupakan momen spesial bagi seluruh masyarakat yang menjalankannya. Termasuk saya. Hari pertama ini, saya pulang menuju Bontonompo, kampung orangtua istri. Jaraknya kurang lebih 17 km atau 40 menit perjalanan. Dalam perjalanan, saya bersama istri yang melaju di sore hari menyaksikan pemandangan masyarakat yang ikut arus balik ramadan. Sungguh bulan suci umat muslim ini menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat yang ingin menjalin silaturahim bersama keluarga tercinta. Ya, sayangnya ramadan tahun ini berbeda 180 derajat. Jika tahun ini saya sudah bersama istri, tahun lalu saya masih sempat berpuasa pertama bersama orang tua dan adik, di Kabupaten Mamuju. Sungguh Mamuju pun bukan jarak yang dekat dari Sungguminasa, tempat tinggal saya. Untuk mencapai Mamuju, dibutuhkan kurang lebih waktu 9 jam perjalanan menggunakan roda empat (bus). Jaraknya sekitar 500 km. Tapi, hanya doa yang sampai buat orangtuaku. Di perjalanan, hal yang paling tampak adalah kera

Apa itu "Mark Up"? | Penjelasan, contoh dan cara menghitungnya

Dulu, ketika tulisan saya terbit di kolom "Surat Pembaca Kompas" berjudul Jangan Revisi  edisi 31 Maret 2017, sekilas saya membaca isi surat pembaca lain di samping tulisan itu, judulnya Mengungkap "Mark Up" . Saat itu saya sama sekali tidak tahu apa arti dari kata "Mark Up" , saya pun tak punya rasa penasaran berlebih untuk mencari tahu frasa itu di mesin pencari daring. Akhirnya saya menghiraukannya.  Satu tahun berlalu. Saya bekerja di sebuah media. Menghadapi orang-orang mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas seperti pemegang jabatan pemerintahan. Mulai kepala desa, kepala dinas, bupati hingga anggota dewan. Saya bukan wartawan, saya hanya bekerja sebagai tukang cari iklan daring (online). Menawarkan ke orang  orang agar dirinya bisa dimuat di portal media daring.   Dari sini, saya baru tahu (atas pengalaman kerja yang baru beberapa bulan), arti dan maksud dari "mark up" itu. Akhirnya pikiran saya kembali ke awal tulisan ini. T

Ramadan Kali Ini

Ramadan kali ini, saya tidak sendiri lagi. Momen bulan ramadan bagi masyarakat beragama Islam adalah agenda terpenting tiap tahunnya. Bulan inilah yang menjadi petanda akan hadirnya kekuatan spiritual yang melanda setiap jiwa jiwa yang beriman. Ada hal yang utama di bulan ini yang tidak boleh terlewatkan. Berkumpul bersama keluarga, merupakan hal yang paling dinantikan, baik di awal memasuki bulan puasa, maupun di akhir ramadan atau tepat di malam lebaran. Keluarga menjadi satu-satunya penanda bahwa setiap hati memiliki gejolak rindu yang mesti dipatuhi. Oleh karenanya, jika awal sahur dan berbuka (puasa), hanya dijalani seorang diri, kemudian hingga hari lebaran tiba, tetap masih sendiri, sungguh itu kecelakaan yang pasti. Tentu kesepian akan merenggut batinnya. Begitu pentingnya keluarga di bulan ini, kurang satu saja anggota keluarga, maka seisi rumah akan terasa seperti ada yang hilang. *** 1 Ramadan 1439 H, saya tidak sendiri lagi. Jika sebelumnya saya pernah mer

Sebuah Perjalanan

Aku belum memahami sebuah perjalanan, sebelum aku menikahimu. Kemarin-menjadi perjalanan panjang buatku dalam memahami hidup ini. Aku dibuat banyak berpikir dan termenung... Hingga akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyampaikan hal itu. Kuungkapkan niatku pada orangtuaku dan orangtuamu. Hingga akhirnya semua terjadi, kita menikah. Perjalanan baru bermula. Rupanya ada banyak hal yang baru kelihatan saat ini. Entah kenapa, hal itu tak terlihat sejak dulu. Sekarang aku tahu, seberapa keras perjalananku hari ini tak sebanding usaha menghalalkanmu. Arsip Pribadi

Puisi, Perempuan, dan Cyberculture - Esai Mohd. Sabri AR

SEBUAH puisi lahir ketika semesta lambang, galaksi makna dan realitas bertaut. “ Les mots ne sont pos innocences ,”—tak ada kata-kata yang polos—begitu   pendakuan filsuf Prancis, Pierre Bourdieu. Selalu saja ada ruang yang tersisa pada kata: tafsir, hasrat, dan juga kuasa. Bahasa, bagi Bourdieu, bukan sekadar instrumen komunikasi dan modal kultural, tapi juga tindak-sosial. Itu sebab, kapasitas bahasa aktor sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya. Dr. Mohd. Sabri AR**   (Source: Kabarselatan.com)          Bahasa selalu diproduksi di dalam habitus dan “pasar linguistik”: sebuah arena tempat dimana wacana tercipta. Mungkin itu sebabnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), mengandaikan jika pasar linguistik memiliki language game dan form of life: bahwa setiap bahasa dalam kehidupan yang aneka punya aturan main dan arena yang khas. Senafas dengan Wittgenstein, Bourdieu meletakkan bahasa sebagai sebuah arena, kancah, dan juga pertarungan. Di setia

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog