Hari ini, siang terik di penghujung Mei. Saya duduk sendiri di depan pintu kedatangan, bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
Sembari menunggu orang yang melahirkanku datang dari Mamuju, kudengar dua perempuan di sampingku sedang asyik saling kelahi. Tapi tak ada kontak fisik. Suaranya saling memotong satu sama lain.
Seorang perempuan yang berusia sekitar 37 tahun sedang menggendong anaknya yang masih bayi dan seorang perempuan yang berusia cukup tua, sekitar 60-an tahun.
Hal yang merisaukan menurutku adalah ketika perempuan yang lebih muda itu seakan membentak sang perempuan yang lebih tua. Baru saya perkirakan belakangan, jika perempuan yang lebih tua itu kemungkinan adalah ibu si perempuan yang lebih muda.
"Mana itu uang?"
"Ih, tidak kutahu."
"Diliat mi sebentar, bisa ji dicek di buku rekening kalau sudah dicetak!"
"Bagaimana bisa? Tidak mungkinka saya bohongi kamu."
"Ih tapi lari ke mana pale itu uang?"
***
Si anak kecil yang digendong si perempuan yang lebih muda, menaruh si bayi di tempat duduk di samping perempuan yang bisa jadi adalah nenek si bayi.
Si perempuan yang lebih tua lalu menggendong si bayi sambil menyaksikan si ibu bayi meninggalkan mereka.
Tak lama kemudian. Sebuah pesan Whatsapp datang.
My Mother: Jam 2 pi berangkat pesawatku, terlambatki.
Seketika hatiku seperti kejatuhan embun di pagi hari. Dingin, lalu menyegarkan. Membuatku bergetar dua puluh detik.
Setidaknya saya sudah mendapat kabar dari Ibu saya. Sebab sudah sekitar satu jam menunggu, tak ada kabar darinya. Henponnya tidak aktif sejak pukul satu siang.
***
Kulihat perempuan yang lebih muda mendekati si perempuan yang sudah agak tua itu, yang kemungkinan terbesar adalah ibu si perempuan yang lebih muda. Kulihat mereka saling bercengkerama, sambil menyapih si bayi yang tampak rewel.
Barangkali si bayi laki laki itu kehausan. Dan sang ibu malu menyusui si bayi karena, kamu tahu sendiri, di sini sangat banyak orang. Mulai dari penumpang pesawat yang baru saja tiba di tempat tujuan, penjemput yang menunggu seperti diriku dan para sopir taksi yang jumlahnya tak terhitung itu yang tak pernah berhenti berteriak menawarkan secarik kertas yang kuduga adalah tiket untuk naik ke mobilnya.
Si perempuan yang lebih muda, lagi lagi seakan mencari kekurangan si perempuan yang lebih tua. Perempuan yang lebih tua itu tak punya banyak mimik. Saya melihatnya sangat kasihan.
Tak lama setelah itu, si perempuan yang lebih tua menanyakan dot si bayi. Tapi si ibu bayi bertolak pinggang. Seolah tak mendengar suara dari perempuan yang kemungkinan besar itu adalah ibunya.
Saya tak tahu bagaimana kelanjutan tulisan ini. Saya sudah malas mengikuti adegan si perempuan yang lebih muda dan perempuan yang lebih tua itu dalam mengolah emosinya di bulan puasa ini.
***
Perempuan yang berusia 40-an masih tetap kutunggu. Kapan pun ia akan tiba, saya tidak akan bergerak dari tempat dudukku ini. Walau pun aku akan menghabiskan ribuan kata untuk menceritakan peristiwa sederhana di sekelilingku yang belum tentu penting untuk kaubaca.
Sembari menunggu orang yang melahirkanku datang dari Mamuju, kudengar dua perempuan di sampingku sedang asyik saling kelahi. Tapi tak ada kontak fisik. Suaranya saling memotong satu sama lain.
Seorang perempuan yang berusia sekitar 37 tahun sedang menggendong anaknya yang masih bayi dan seorang perempuan yang berusia cukup tua, sekitar 60-an tahun.
Hal yang merisaukan menurutku adalah ketika perempuan yang lebih muda itu seakan membentak sang perempuan yang lebih tua. Baru saya perkirakan belakangan, jika perempuan yang lebih tua itu kemungkinan adalah ibu si perempuan yang lebih muda.
"Mana itu uang?"
"Ih, tidak kutahu."
"Diliat mi sebentar, bisa ji dicek di buku rekening kalau sudah dicetak!"
"Bagaimana bisa? Tidak mungkinka saya bohongi kamu."
"Ih tapi lari ke mana pale itu uang?"
***
Si anak kecil yang digendong si perempuan yang lebih muda, menaruh si bayi di tempat duduk di samping perempuan yang bisa jadi adalah nenek si bayi.
Si perempuan yang lebih tua lalu menggendong si bayi sambil menyaksikan si ibu bayi meninggalkan mereka.
Tak lama kemudian. Sebuah pesan Whatsapp datang.
My Mother: Jam 2 pi berangkat pesawatku, terlambatki.
Seketika hatiku seperti kejatuhan embun di pagi hari. Dingin, lalu menyegarkan. Membuatku bergetar dua puluh detik.
Setidaknya saya sudah mendapat kabar dari Ibu saya. Sebab sudah sekitar satu jam menunggu, tak ada kabar darinya. Henponnya tidak aktif sejak pukul satu siang.
***
Kulihat perempuan yang lebih muda mendekati si perempuan yang sudah agak tua itu, yang kemungkinan terbesar adalah ibu si perempuan yang lebih muda. Kulihat mereka saling bercengkerama, sambil menyapih si bayi yang tampak rewel.
Barangkali si bayi laki laki itu kehausan. Dan sang ibu malu menyusui si bayi karena, kamu tahu sendiri, di sini sangat banyak orang. Mulai dari penumpang pesawat yang baru saja tiba di tempat tujuan, penjemput yang menunggu seperti diriku dan para sopir taksi yang jumlahnya tak terhitung itu yang tak pernah berhenti berteriak menawarkan secarik kertas yang kuduga adalah tiket untuk naik ke mobilnya.
Si perempuan yang lebih muda, lagi lagi seakan mencari kekurangan si perempuan yang lebih tua. Perempuan yang lebih tua itu tak punya banyak mimik. Saya melihatnya sangat kasihan.
Tak lama setelah itu, si perempuan yang lebih tua menanyakan dot si bayi. Tapi si ibu bayi bertolak pinggang. Seolah tak mendengar suara dari perempuan yang kemungkinan besar itu adalah ibunya.
Saya tak tahu bagaimana kelanjutan tulisan ini. Saya sudah malas mengikuti adegan si perempuan yang lebih muda dan perempuan yang lebih tua itu dalam mengolah emosinya di bulan puasa ini.
***
Perempuan yang berusia 40-an masih tetap kutunggu. Kapan pun ia akan tiba, saya tidak akan bergerak dari tempat dudukku ini. Walau pun aku akan menghabiskan ribuan kata untuk menceritakan peristiwa sederhana di sekelilingku yang belum tentu penting untuk kaubaca.
Comments
Post a Comment