Skip to main content

Posts

Kesederhanaan

Lubang Kata-- Banyak sekali hal sederhana yang semestinya harus ditulis. Seperti tidak sedikitnya kesederhanaan yang diucapkan dan dipermasalahkan akhir akhir ini. Hal sederhana menjadi perbincangan hangat di tengah tengah kita. Kita seolah menjadi jauh, merasa benar. Hingga sampai pada tahap menilai seseorang itu buruk dan tak bermoral. Padahal kesederhanaan-lah yang rupanya ditinggalkan. Ia serupa jabang bayi yang rela dibunuh oleh ibunya sendiri, bagi perempuan yang melakukan abortus. Hingga pada suatu saat, ketika simpulan simpulan telah terurai, dan masing masing manusia bertanya. Dan pertanyaannya itu membentur kepalanya sendiri. Pertanyaan silih berganti dari satu kepala ke kepala lain. Keluar dan masuk seolah tak menemukan rumah tuk pulang. Orang orang menjadikan dirinya asing. Cerminnya berada pada diri manusia lainnya. Kepercayaan diri sendiri seolah punah. Sehingga hal hal menjadi sulit dipercaya, semuanya seolah menjadi realitas palsu. Dan hal ini akan membuatnya

Terima Kasih

Saya ucapkan banyak terima kasih, padamu yang telah mengizinkan aku tuk merawat tulisanmu Saya ucapkan banyak terima kasih, untukmu yang telah rela menghabiskan separuh waktu menemaniku Saya ucapkan banyak terima kasih, for you yang telah berupaya menghubungiku di waktu sulit kau mengajarkan, bahwa manusia sejati ialah mereka yang tak hanya hadir di saat bahagia tapi ia yang juga bisa datang dan dekat ketika sedih Saya ingin ucapkan terima kasih, meski hanya lewat kata karena tiada kata kata indah, bagiku melainkan mengabadikanmu, lewat puisi. 2016 Source : http://www.wallquotes.com/

Perjalanan Sebuah Karya

Buah Tangan Pertama Akhir Agustus 2015 silam, naskah buku ini masuk ke Penerbit Garudhawaca, Yogyakarta, Dengan membayar biaya pra cetak sekitar 150 ribu rupiah, naskah ini mulai diproses, begitu kalimat pertama yang diungkapkan sang redaktur penerbit kepada saya baik melalui pesan di hp maupun lewat surel. September, Oktober, November, Desember.  Ya, baru di akhir bulan Desember 2015 saya mendapat kabar dari penerbit, kalau naskah buku saya sudah diterbitkan. Meski selama masa empat bulan menunggu saya sering mempertanyakan buku ini. Dan pihak redaksi hanya mengatakan, "sabar ya Mas, bukunya sedang proses," "Sabar Mas, banyak antrian cetak yang masuk, "Mas, mesin cetaknya rusak, harap sabar ya." Saya masih mengingat jelas kalimat dari sang redaktur. Akhirnya, selama menunggu, saya terus memperbaiki kualitas tulisan-tulisan saya, ya, dengan banyak menulis dan banyak membaca. Tiba tahun baru 2016. Setelah saya tanyakan ke pihak penerbit, kapa

Momen Menulis

Persoalan memang tak pernah lelah bertandang. Kadangkala satu hari harus kuisi dengan kekosongan dan hanya meninggalkan coretan. Saya biasa menyiasati untuk bisa menitipkan barang satu kalimat di tiap harinya yang mungkin bisa kukenang nanti. Ya, aku menulis hanya untuk mengabadikan setiap momen yang tak ingin pergi di tiap harinya. Pen

Bukan Puisi

ada sebuah puisi yang menolak ditulis. puisi itu mungkin rumit sekali sampai sampai tak seorang pun yang  mampu menuliskannya. bahkan pemenang nobel sastra sekali pun, kuyakin takkan mampu merangkainya menjadi kata kata. aku tak tahu, mengapa puisi itu tak dapat  dirangkai. apakah ia menolak dibaca? ataukah memang ia tak ingin dijadikan bahan  komentar hanya karena tahu akan dijadikan objek cerita? entahlah, mari kita akhiri saja sajak ini. semoga puisi itu tak pernah tersinggung setelah sajak ini ditulis.                                                                            2016 Source : https://allpoetry.com/MgP

Aku yang Sejujurnya

Tulisan ini adalah sebagai jawaban atas coretan yang kaupatrikan di blogmu. Kau barangkali menganggap diamku adalah cara terbaik untuk melepas, kau salah. Bukan itu. Aku hanya ingin membuat satu jarak sepi di antara kita agar Kau kembali bisa menorehkan isi hatimu. Katamu, mungkin aku tidak rindu. Kau salah. Aku di sini terlebih harus menahan duri Yang sakit akibat kauabaikan. Aku menunggumu Menunggu jawaban-jawaban yang menenangkan.

Hubungan Kekuasaan Amerika dan Israel

Kemarin, 7 November 2016, masa kepemimpinan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 sudah berakhir (baca: Klik-> " An Unfinished Presidency: Obama Passes the Baton " (7/11/2016)). Hari ini, (Klik->)  Selasa ke dua di bulan November , Presiden Amerika ke-45 dipilih. Ada dua calon besar yang akhir-akhir ini menjadi perhatian publik karena isu yang dibangun pendukung ke duanya sangat hot. Publik pun bertanya, apa gerangan (klik->)  yang melatarbelakangi isu itu ? Saya tak ingin menjawabnya. Saya hanya ingin mengatakan apa yang telah Dosenku katakan, dalam satu pertemuan. Namanya Moh. Yaumi. Saya kira beliau pembelajar aktif, dengan penelitiannya, ia sudah berangkat ke beberapa negara di dunia, termasuk di Eropa. Ia berkata: siapa pun presiden Amerika, ia akan tetap tunduk pada Israel. Loh kenapa bisa , kataku. Jawabnya, sebab seluruh uang yang hari ini tersebar di Amerika adalah milik Israel. Jawabannya bisa dijelaskan dalam suatu pembuktian sejarah.

411

Banyak yang memasang angka itu pada foto profil di media sosialnya. Tiga angka itu merupakan tanggal lahirnya sebuah demonstrasi besar. Media pada saat itu tumbuh seperti ketombe pada rambut lelaki yang jarang mandi, atau kotoran pada gigi manusia yang jarang disikat. Begitu banyak. Bukan hanya dari segi kuantitas, tapi kualitasnya masih perlu ditanyakan. Orang-orang pun menilai semua media pada saat itu, hanya mencari rating tertinggi, bukan kebenaran berita. Empat Satu Satu. Tanggal Empat November. Tahun 2016 ini ternyata mampu menyimpan satu bukti, bahwa pada satu hari di bulan November, manusia berdatangan dari segala pelosok memasuki Kota Ibu Kota Negara. Mereka meneriakkan kalimat takbir. Pakaiannya serba putih. Ada yang memakasi kopiah ada juga yang tidak. Barisan terdepan mereka memegang pelantang. Suaranya tak padam, walau matahari kian mencekam. Pada awalnya "aksi" yang dilakukan ratusan ribu massa yang berdatangan dari segala penjuru itu, terkesan dramatis, ha

Mengantarmu

aku sudah ter-biasa melakukan hal ini. setiap hari. pagi-pagi sekali aku sudah harus keluar dari rumah. menemuimu. mengantarmu berkeliling kawasan yang ingin kaukunjungi barang sebentar atau lama demi menghilangkan penat di dadamu. aku sudah terbiasa melakukan hal ini. setiap hari. malam-malam yang gelap. sedari mengantarmu pulang. berjarak sepuluh kilometer untuk sampai di rumahku. tiap-tiap malam. kita hanya bertemu dan berpisah. sama seperti pagi dan malam, yang senantiasa berpisah. dipisah oleh subuh dan sore. antara embun dan senja. adakah kau mau berpaling jika kembali menengok kisah kita ini? Source : https://az616578.vo.msecnd.net

Putri Karaeng

P ernikahan Batal karena Uang Panai . Judul tulisan itu tertulis jelas di sebuah surat kabar di kota ini.  *** GELISAH . Itulah yang dirasakan seorang pemuda dua puluh tahun. Pikirannya melayang menyusuri bayang yang tak pernah jelas arahnya. Sejak pertengahan tahun ini, ketika seorang perempuan datang berkenalan dengannya, seakan ada sebuah paku tertancap di bilik bambu. Paku itu diandaikan sebagai kegelisahan dan bambu itu adalah hatinya. Perlahan namun pasti, sesuatu yang menusuk itu menancapkan ujungnya tepat di permukaan yang mudah remuk.  *** TELEPON genggam Armin berdering. Sebuah panggilan masuk. Nama kontaknya terlihat jelas: Ammak.  “Ammoterekki.” “Teaki rong, Ammak. Niak inji erok kujama anrinni.”  “Ammoterek miki rong, Nak. Niak erok napawwangngangki, Bapaknu.”  Panggilan dimatikan. Sebenarnya seruan untuk pulang itu adalah perkara penting. Selama dua tahun Armin tak pernah pulang untuk sekadar menjenguk orangtuanya.

Memandangi Sebuah Foto

Fotoku:  https://3.bp.blogspot.com/-11f7rkv-M3A/WBGg0Rn0UYI/AAAAAAAAAfA/RtXydBeqFcAgTWQdrVre6gjas03qHeZuwCLcB/s1600/Galang%2BPratama.jpg KUPANDANGI  fotoku. Lama. Lama sekali. Itu foto terbaruku. Wajahku kelihatan masih muda sekali. Usia 20-an. Kupandangi lagi. Dan lagi. Sekali lagi. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Berkali kali. Kutatap mataku dalam foto itu dengan mataku sendiri. Tak lama kemudian... aku mendengarnya, lalu berbisik. "Jangan tergesa gesa dalam menerbitkan karya." Aku merinding. Dan jatuh. Aku bangkit kembali. Memandangi foto itu. Tokoh di dalam foto itu bercerita banyak. Ia sepertinya fasih menjelaskan dirinya sendiri. Lalu, kudengarkan celotehnya. "Dengar baik baik. Kau sudah sampai pada titik ini." Ia mulai bercerita. Kuperbaiki cara dudukku, lalu kembali menatap mata tokoh yang sedang berada di depanku. "Mengapa kau masih saja sibuk mengurus itu dan ini," katanya "padahal tujuan utamamu dalam kuliah b

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog