September, Oktober, November, Desember.
Ya, baru di akhir bulan Desember 2015 saya mendapat kabar dari penerbit, kalau naskah buku saya sudah diterbitkan. Meski selama masa empat bulan menunggu saya sering mempertanyakan buku ini. Dan pihak redaksi hanya mengatakan, "sabar ya Mas, bukunya sedang proses," "Sabar Mas, banyak antrian cetak yang masuk, "Mas, mesin cetaknya rusak, harap sabar ya." Saya masih mengingat jelas kalimat dari sang redaktur. Akhirnya, selama menunggu, saya terus memperbaiki kualitas tulisan-tulisan saya, ya, dengan banyak menulis dan banyak membaca.
Tiba tahun baru 2016. Setelah saya tanyakan ke pihak penerbit, kapan pengiriman bukunya, sang penerbit bilang "silakan transfer biaya buku dan pengirimannya." Saya kemudian mengirimkan biaya 500 ribu rupiah untuk mendapat 20 eksemplar buku. Harga perbukunya memang dari penerbit 40 ribu, dan selebihnya itulah royalti yang penulis dapatkan.
Biaya 500 ribu rupiah itu, saya dapatkan dari Ibu di kampung atas persetujuan Bapak. Saya akhirnya dikasih uang demi melihat karya anaknya bisa terbit. Itu satu hal yang paling kusyukuri, dan saya merasa mengutang pada orangtua, karena pada saat itu saya bilang, saya akan mengganti uangnya, karena kelak jika seluruh buku laku, maka saya akan mendapat (40 ribu x 20 buku) 800 ribu.
Tapi, ternyata seringkali kenyataan berbeda dengan apa yang seharusnya terjadi, dan hal ini tentu melahirkan masalah. Saya transfer tanggal 25 Januari 2016. Tapi saya mesti menunggu buku itu lagi. Setelah hari saya men-transfer biaya buku itu, saya menunggu di pekan pertama bulan Fabruari. Kata si redaktur, bukunya sudah dikirim. Saya meminta resi, tapi tidak dikasih. Akhirnya, saya menghabiskan bulan Februari hanya untuk mengunjungi kantor pos, yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah. Pekan ke tiga hingga pekan terakhir di Februari, baru saya mendapat kabar dari buku ini. Saya pun dapat kabar, kalau buku saya sudah tiba. Dan ke esokan harinya barulah pegawai pos datang ke rumah untuk mengantarkan paketnya.
Bukan saya yang pertama kali menerima paket itu. Tapi, tetangga sebelah yang juga sepupu saya. Setelah saya menanyakan paket saya, akhirnya sepupu saya memberikan paket itu. Dan betapa bangganya saya pada saat itu. Sesuatu yang kutunggu berbulan-bulan akhirnya tiba di tanganku. Di paket itu terpampang namaku "Untuk M Galang Pratama, dari Penerbit...."
Saya membuka buku itu, dan ternyata hanya 10 eks. Tidak sama seperti dugaan sebelumnya. Saya akhirnya bertanya ke pihak redaksi. Lagi dan lagi. Katanya, 10 eks-nya mengalamai masalah ketika sedang dicetak, mesinnya rusak. Dan saya kembali menerima kenyataan itu. Tiba di tangan saya 10 eks. dan saya berharap semoga buku 10 eks-nya lagi suatu saat (yang tak lama lagi) akan dikirimkan.
10 eks itu kemudian saya pasarkan bersama teman di media sosial. Facebook, utamanya. Mungkin Anda bisa melihat kenangan masa promosi saya ketika melihat akun Fb saya di sekitar awal Maret 2016. Nah, beberapa orang memesan buku itu. Tapi kebanyakan adalah orang-orang (yang tentunya mengenalku dan aku pun mengenalinya), meminta buku itu secara gratis. Mereka tidak tahu, kalau satu buku saya sendiri, sebagai penulis menghargainya dengan harga yang tidak sedikit. Tapi orang-orang yan katanya teman, ingin buku itu dengan gratis. Maka sebetulnya jika buku itu saya berikan pada setiap teman dengan harga 0 rupiah, maka setiap orang seperti kuberi satu buku karyaku, dan beberapa uang sebagai pengganti biaya cetak yang saya kirimkan ke penerbit.
Tapi untungnya, meski lebih banyak yang belum mengerti, masih ada juga pihak yang mengerti, seperti seorang penulis Arief Balla, dia bilang "kalau kau mau mengapresiasi karya seseorang, maka belilah bukunya, jangan minta gratis." kira-kira begitu maksud Arief Balla. Beberapa buku juga diminta oleh teman-teman penulis, Ada juga anak SMA yang dari Soppeng, namanya Nia Sulistiawati. Dia seorang yang sabar, dia mentransfer biaya buku 50 ribu pada bulan Maret, yang ternyata pada saat itu stok buku sedang habis. Sebab selain teman terdekat yang membelinya, ada juga yang saya kirimkan kepada orang terkasih saya, seperti ke keduaorangtua di kampung.
Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober.
Setelah stok buku 10 eks. sudah habis, bahkan saya sendiri tak punya stoknya, akhirnya saya meminta lagi kepada penerbit untuk dikirimkan. Tapi, beberapa bulan berlalu, pihak penerbit bungkam. Dan menanyakan kembali apakah saya sudah men-transfer biayanya atau belum. Lama. Lama sekali. Dan selama waktu menunggu itu, saya hanya bisa membaca dan menulis. Lagi-lagi, memperbaiki tulisan saya. Dan selama masa menunggu itu, beberapa tulisan baik Puisi, Cerpen dan Artikel akhirnya lahir dari tangan saya.
Di masa menunggu itu pula, sampai-sampai pihak penerbit beberapa kali menjanjikan buku saya untuk dikirim. Tapi hasilnya tetap nihil. Saya sudah memperbaiki naskah tulisan saya yang ada di dalam buku itu, sebab di 10 eks. buku pertama, (10 eks buku pertama ditandai dengan logo penerbit berwarna putih di ujung kiri atas buku), masih terdapat beberapa typo, atau salah ketik.
Tapi naskah yang saya kirimkan ke penerbit untuk 10 eks buku seanjutnya sudah saya edit sedemikian rupa. Dan akhirnya ada beberapa perubahan dari tampilan 10 eks. buku pertama. Tapi, saya terus menunggu buku itu.
April, Mei, Juni, Juli, Agustus.
Pihak penerbit baru membalas surel dan chat saya di bulan September. Dan berniat untuk mencetak 10 eks buku saya lalu mengirimkannya segera. Pertengahan Oktober akhirnya saya dapat kabar kalau bukunya sudah dikirim. Kali ini saya bangga kepada penerbit karena setiap pertanyaan saya, dijawab dengan baik. Saya juga dikasih no.resi pengiriman, sehingga saya pun bisa memantau buku saya dari Yogya ke Gowa.
Tepat hari Senin, 31 Oktober 2016 pukul 15.00 sore, ketika saya pulang dari kampus, saya mendapati kabar. Lagi-lagi dari sepupu, tapi sepupu yang berbeda. Dulu tetangga di samping rumah, kali ini tetangga di depan rumahku. Dia akhirnya memberikan paket buku saya. Dan saat itu, barulah saya langsung teringat kepada seorang pemesan buku di bulan Februari silam dari Soppeng. Saya lalu membungkus satu eks. sebelumnya saya bubuhi tandatangan dan beberapa kata pengingat untuk dititipkan di buku itu, menemaninya selama dalam perjalanan. Saya membungkusnya dan mengirimnya di Kantor Pos dekat rumah. Dan saya kaget, karena biaya pengirimannya lebih dari 20 ribu rupiah. Padahal tujuan paket itu hanya domestik, satu provinsi. Tapi saya akhirnya merelakannya. Saya berpikir, anak itu lebih butuh buku ini dari pada uang yang saya berikan kepada pegawai kantor Pos perempuan muda itu.
Sembilan eksemplar buku itu kini di genggamanku. Saya pun berniat menjualnya untuk menambah biaya hidup. Tapi, lagi-lagi. Saya juga berpikir bahwa ternyata animo masnyarakat terhadap buku masih tergolong rendah. Terutama pada buku puisi. Buku ini pun saya katakan dengan jujur, tidak laku di pasaran. Inilah buku pertama saya, meski saya selalu berterima kasih kepada pembeli karya pertama saya itu. Sebab saya yakin, meski mereka yang mendapat ke-alay-an tulisan pertama saya, dan banyaknya kesalahan pada tata cara penulisan saya, saya masih menghargainya dengan apresiasi yang besar. Karena mereka telah menghargai karya tulisan saya dengan harga yang memuaskan. Dan harga yang paling memuaskan lagi bagi saya adalah ketika pembaca buku saya memberikan respon kepada saya, mengenai pembacaannya. Saya tidak peduli itu positif (endorsment apresiasi) atau pun kritik (masukan-masukan yang sifatnya membangun).
Beberapa dari 10 eks buku baru itu (10 eks. buku baru yang sudah diedit dari cetakan sebelumnya ditandai dengan logo penerbit berwarna merah di ujung kiri atas buku), saya sumbangkan. Kepada komunitas dan kepada perpustakaan. Selebihnya dimiliki oleh orang-orang luar biasa dan dua eksemplar yang masih tersedia sampai catatan ini kutulis, kusimpan di Rakit, sebuah rumah baca yang berada di rumahku sendiri.
Sepertinya perlu juga untuk saya sebutkan siapa saja pembeli buku saya yang saya anggap orang luar biasa itu. Pertama Andi Abri Anto, teman saya di kampus. Arief Balla, penulis yang juga selalu memotivasi saya menulis, Rudy Adyaksyah, teman SMA saya yang gagah, Muh. Syakir Fadhli, kawan seperjuanganku di komunitas menulis di kampus.
Selain itu juga dari Nia S, yang sudah saya sebutkan di atas, perempuan yang agamis, tapi sering nulis status. Ada dari kakak senior terkece yang saya inspirasikan sejak pertama kali sekolah menulis, dia mengajarkan saya tentang EyD dan tatacara penulisan 'di' baik sebagai awalan atau kata depan. Dialah sosok yang membuat saya untuk tetap semangat menulis, namanya Hasvirah Hasyim Nur. Tadi malam saya ke kostnya mengantarkan paket buku ini. Terima kasih ya.
Saya juga berterima kasih kepada Syamsinar, teman SD saya, yang baru-baru ini menghadiahi pernikahannya dengan buku saya. Pun juga saya berterima kasih kepada H. Kamaruddin, Lurah Batangkaluku, yang menghargai dan mengapresiasi buku saya.
Tiada terkira, dari perjuangan perjalanan buku ini. Mulai awal menuliskan niat untuk menerbitkan buku sampai pada habisnya 20 eks. buku yang sangat bersejarah (setidaknya ini bagi saya sendiri).
saya jadi lupa menuliskan mengapa saya menerbitkan buku, apa tujuan saya, dan mengapa ada foto dan ungkapan spesial di dalam buku itu. Saya tidak ingin menjawabnya. Kecuali jika suatu waktu kalian bertanya secara langsung pada saya. Sebetulnya itulah bukti, kalau saya bisa tonji menuliskan nama seseorang di dalam buku yang punya peran terbesar selama beberapa tahun belakangan menamani saya menulis, menulis dan membaca, membaca.
Dan setelah saya menulis catatan ini, saya menjadi haus, lalu mengambil air putih di sampingku, menuangkannya ke dalam gelas, meminumnya dan berkata pada diri sendiri: "Kamu masih harus banyak belajar. Menulis lagi, lagi dan lagi."
M Galang Pratama
Comments
Post a Comment