Banyak yang memasang angka itu pada foto profil di media sosialnya. Tiga angka itu merupakan tanggal lahirnya sebuah demonstrasi besar. Media pada saat itu tumbuh seperti ketombe pada rambut lelaki yang jarang mandi, atau kotoran pada gigi manusia yang jarang disikat. Begitu banyak. Bukan hanya dari segi kuantitas, tapi kualitasnya masih perlu ditanyakan. Orang-orang pun menilai semua media pada saat itu, hanya mencari rating tertinggi, bukan kebenaran berita.
Empat Satu Satu. Tanggal Empat November. Tahun 2016 ini ternyata mampu menyimpan satu bukti, bahwa pada satu hari di bulan November, manusia berdatangan dari segala pelosok memasuki Kota Ibu Kota Negara. Mereka meneriakkan kalimat takbir. Pakaiannya serba putih. Ada yang memakasi kopiah ada juga yang tidak. Barisan terdepan mereka memegang pelantang. Suaranya tak padam, walau matahari kian mencekam.
Pada awalnya "aksi" yang dilakukan ratusan ribu massa yang berdatangan dari segala penjuru itu, terkesan dramatis, hanya berjalan secara sistemik sambil mengelilingi bundaran HI. Bukan. Mereka tidak sedang tawaf. Mereka berupaya menemui pimpinan tertinggi di negara ini, untuk meminta nasihatnya terkait polemik yang terjadi belakangan ini. Sebut saja, polemik seorang Gubernur Ibu Kota Negara.
Hal yang paling riskan adalah ketika aksi yang sebelumnya berjalan damai, tiba-tiba sekitar pukul 19.30 malam, massa sudah mulai resah. Ditambah adanya oknum yang memprovokasi, sehingga bentrokan antara pendemo dan jajaran kepolisian tak terelakkan. Korban? Jika kau tanyakan itu, sebut saja satu di antara mereka wafat.
Orang Indonesia mudah terprovokasi memang. Tak bisa dipungkiri hal itu, hanya karena video yang menyebar begitu cepat di telepon pintar, membuat banyak pihak jadi berang, dan ikut bersuara keras dan langsung memberikan kritik pada sang pembicara di video itu. Padahal, orang-orang ini belum tahu benar, apakah itu video asli atau palsu (ini memang mirip satu acara di tv). Wajarlah, manusia kita memang mudah sesat nalar. Logika mudah jatuh ketika melihat banyak orang sudah bicara itu. Akhirnya bagi yang tak punya sabar, ia pun ikut bersuara lantang, meski nyatanya hanya dikatakan lewat tulisan di akun media sosial.
Tulisan ini bukan untuk memprovokasi ulang atau menjadi bahan referensi Anda untuk informasi terkait kejadian hari itu. Tulisan ini hanya berupaya merekam. Bahwa ada satu hari yang di sana isu lokal bisa memengaruhi atau ikut memegang kendali isu nasional. Di saat yang bersamaan, meski hanya satu daerah yang menjadi titik aksi, tapi di tempat lain (Medan, Malang, Makassar) aksi massa juga menjadi-jadi. Di sini kita bisa petik satu simpulan bahwa ternyata ada orang-orang yang hanya diam di balik layar, tetapi punya andil besar dan tahu persis motif di belakang peristiwa 411 itu. Sekian saja.
Empat Satu Satu. Tanggal Empat November. Tahun 2016 ini ternyata mampu menyimpan satu bukti, bahwa pada satu hari di bulan November, manusia berdatangan dari segala pelosok memasuki Kota Ibu Kota Negara. Mereka meneriakkan kalimat takbir. Pakaiannya serba putih. Ada yang memakasi kopiah ada juga yang tidak. Barisan terdepan mereka memegang pelantang. Suaranya tak padam, walau matahari kian mencekam.
Pada awalnya "aksi" yang dilakukan ratusan ribu massa yang berdatangan dari segala penjuru itu, terkesan dramatis, hanya berjalan secara sistemik sambil mengelilingi bundaran HI. Bukan. Mereka tidak sedang tawaf. Mereka berupaya menemui pimpinan tertinggi di negara ini, untuk meminta nasihatnya terkait polemik yang terjadi belakangan ini. Sebut saja, polemik seorang Gubernur Ibu Kota Negara.
Hal yang paling riskan adalah ketika aksi yang sebelumnya berjalan damai, tiba-tiba sekitar pukul 19.30 malam, massa sudah mulai resah. Ditambah adanya oknum yang memprovokasi, sehingga bentrokan antara pendemo dan jajaran kepolisian tak terelakkan. Korban? Jika kau tanyakan itu, sebut saja satu di antara mereka wafat.
Orang Indonesia mudah terprovokasi memang. Tak bisa dipungkiri hal itu, hanya karena video yang menyebar begitu cepat di telepon pintar, membuat banyak pihak jadi berang, dan ikut bersuara keras dan langsung memberikan kritik pada sang pembicara di video itu. Padahal, orang-orang ini belum tahu benar, apakah itu video asli atau palsu (ini memang mirip satu acara di tv). Wajarlah, manusia kita memang mudah sesat nalar. Logika mudah jatuh ketika melihat banyak orang sudah bicara itu. Akhirnya bagi yang tak punya sabar, ia pun ikut bersuara lantang, meski nyatanya hanya dikatakan lewat tulisan di akun media sosial.
Tulisan ini bukan untuk memprovokasi ulang atau menjadi bahan referensi Anda untuk informasi terkait kejadian hari itu. Tulisan ini hanya berupaya merekam. Bahwa ada satu hari yang di sana isu lokal bisa memengaruhi atau ikut memegang kendali isu nasional. Di saat yang bersamaan, meski hanya satu daerah yang menjadi titik aksi, tapi di tempat lain (Medan, Malang, Makassar) aksi massa juga menjadi-jadi. Di sini kita bisa petik satu simpulan bahwa ternyata ada orang-orang yang hanya diam di balik layar, tetapi punya andil besar dan tahu persis motif di belakang peristiwa 411 itu. Sekian saja.
Source : http://www.userlogos.org/ |
Comments
Post a Comment