Pernikahan Batal karena Uang Panai. Judul tulisan itu tertulis jelas di sebuah surat kabar di kota ini.
***
GELISAH.
Itulah yang dirasakan seorang pemuda dua puluh tahun. Pikirannya
melayang menyusuri bayang yang tak pernah jelas arahnya. Sejak
pertengahan tahun ini, ketika seorang perempuan datang berkenalan
dengannya, seakan ada sebuah paku tertancap di bilik bambu. Paku itu
diandaikan sebagai kegelisahan dan bambu itu adalah hatinya. Perlahan
namun pasti, sesuatu yang menusuk itu menancapkan ujungnya tepat di
permukaan yang mudah remuk.
***
TELEPON genggam Armin berdering. Sebuah panggilan masuk. Nama kontaknya terlihat jelas: Ammak.
“Ammoterekki.”
“Teaki rong, Ammak. Niak inji erok kujama anrinni.”
“Ammoterek miki rong, Nak. Niak erok napawwangngangki, Bapaknu.”
Panggilan dimatikan.
Sebenarnya
seruan untuk pulang itu adalah perkara penting. Selama dua tahun Armin
tak pernah pulang untuk sekadar menjenguk orangtuanya. Ia lebih memilih
menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi negeri di kota
ini.
Ada
hal lain yang membuat Armin tidak bisa pulang. Ainun, perempuan itu
juga sedang menyelesaikan kuliahnya hingga beberapa bulan mendatang.
***
HATI Armin mulai dikejar tanda tanya. Perasaan bimbang itu menyusuri setiap
sel di dalam tubuhnya. Saat pernyataan yang disampaikan kepada kedua
orangtuanya di awal tahun silam yang tak disetujui membuatnya hingga
kini diganjar kegelisahan yang tak berkesudahan.
Mengapa orangtuaku belum mengijinkan? Atau mungkin saya belum pantas? Pertanyaan terus menghantuinya.
Orangtua
Armin menyarankan agar ia terlebih fokus pada studi. Menyelesaikan
kuliah yang sedang dihadapinya. Sekarang ia sudah berada di penghujung
studi strata satunya.
Tenang dulu, Nak. Ingat kau itu belum kerja, kuliahmu juga belum selesai. Nanti kalau sudah lulus, baru diusahakan. Jawaban orangtuanya terus terbang di pikirannya.
Apa
boleh buat, Armin di tengah kesendiriannya terus memikirkan hal itu.
Untungnya, ia tak pernah lupa ajaran guru madrasahnya dulu. “Ingat
Armin, rida Allah ada pada rida orangtua.”
Armin
sempat berpikir, jika hal itu dilangsungkan pada kondisi seperti ini,
maka semuanya akan berantakan. Tidak mungkin Armin memilih jalan yang
dilarang di adatnya. Silariang! Armin merasa pusing. Ia tak tahu
harus berbuat apa selama menunggu waktu itu datang. Ya, mungkin ia bisa
memanfaatkan keahliannya. Menulis. Begitu pikirnya.
Tapi apakah menulis dapat menghidupiku? Lagi-lagi
tanda tanya muncul di benaknya. Satu tanda tanya seringkali memunculkan
tanda tanya baru. Dan tanda tanya yang banyak seringkali tak pernah
bertemu dengan jawaban yang diinginkan oleh jiwa-jiwa yang dihantui
kegelisahan.
***
APAKAH dalam masa penantian ini, saya akan aman? Bagaimana jika terjadi sesuatu di luar yang direncanakan? Jika memang membaca hal-aman-hal-aman buku
yang kini berada di sampingku mampu meredam kebutuhan biologis ini,
maka tentu itu adalah hal baik. Namun bagaimana jika sekiranya buku buku
itu tak lagi mau memberikan hal-aman-hal-aman-nya untuk dibaca
dengan aman? Mungkin saya akan gila. Dan ujung ujungnya, orangtuaku
sendiri yang akan datang dengan penuh penyesalan. Itu pasti.
***
PERTANYAAN memang tak pernah berhenti mengejar Armin. Di mana pun ia berada,
pertanyaan seolah hantu yang kerap kali datang mencegat perasaan
takutnya. Tidak. Ia tidak takut ditanya. Tetapi, jika tanda tanya itu
bertemu dirinya, seolah tanda tanya itu hanya akan menemui rasa
penyesalan. Sebab tanda tanya itu tak pernah bertemu dengan jawaban yang
diinginkannya.
Armin
menjalin hubungan dengan Ainun sudah hampir setahun. Kini mereka berdua
telah menyatukan persepsi untuk saling mempertemukan keluarganya.
Keluarga
Armin tinggal di pelosok desa. Ammaknya hanya seorang ibu rumah tangga.
Sedang bapaknya seorang guru berstatus aparatur sipil negara dengan
pangkat paling rendah. Sang bapak hobi meminjam di bank. Kalimat yang
terakhir itu sungguh bukanlah sebuah ironi.
Saat
ini orangtua Armin harus rela meminjam uang di bank untuk berbagai
kebutuhan mendesak. Termasuk untuk biaya sekolah Armin dan enam adiknya.
Gajinya dalam sebulan harus dipotong oleh bank sebagai bayaran
utangnya. Keluarga Armin boleh dibilang sangat terpuruk dalam hal
ekonomi.
Berbeda
dengan kehidupan orangtua Armin. Ibu Ainun bergelar doktor. Ia bekerja
sebagai pengawas di lingkungan dinas pendidikan di Jeneponto. Begitu pun
Ayahnya. Juga seorang yang terdidik. Namun ia lebih dikenal sebagai
tetua Adat daripada seorang guru. Sebab garis keturunan Raja Binamu,
teruntut jelas hingga ke dirinya. Ringkasnya, menjadi keluarga terhormat
di mata masyarakat. Seorang keluarga bangsawan alias Karaeng. Itulah
yang dirasakan Ainun. Dia putri Karaeng.
***
ARMIN datang menemui Ayahnya. Dalam langkah perjalanannya, air mukanya
berubah drastis. Suhu tubuh-nya naik. Emosi dalam jiwanya bergelora.
“Sebenarnya
apa yang salah jika saya melamar Ainun sementara saya masih kuliah,
Ayah? Saya kan hanya ingin agar hubungan saya dengan dia dapat terjaga.
Apakah agama melarang hal yang semacam itu? Atau memang karena
masyarakat belum mampu menerima ketika ada sepasang suami istri menikah,
sedang sang suami belum memiliki pekerjaan tetap? Sedangkan, Ayah tahu
kan, usia saya sekarang sudah dua puluh tahun? Menurut catatan sipil,
itu sudah termasuk usia dewasa.”
“Dia itu putri Karaeng, kan? Kau mau menambah utang orangtuamu,” tegas Ayahnya.
Armin membisu. Seperti bisunya angin yang enggan menjawab harapan seorang pemuda yang membentur pahitnya kenyataan.
Di
tengah kegundahannya, Armin menulis. Ia mengungkapkan isi hatinya
dengan sebuah prosa. Tak butuh waktu lama, prosa yang dibuat Armin
berada di barisan paling atas dari surat elektronik redaksi surat kabar
di kotanya. Jelaslah, ia menulis supaya orang lain ikut merasakan apa
yang ia rasakan.(*)
Gowa, Maret-September 2016
Cerpen ini pertama kali terbit di Harian Fajar, 25/9/16.
Source : http://koranmgp.blogspot.co.id/2016/09/putri-karaeng.html
Putri Karaeng |
Cerpen ini pertama kali terbit di Harian Fajar, 25/9/16.
Source : http://koranmgp.blogspot.co.id/2016/09/putri-karaeng.html
Comments
Post a Comment