Saya terlalu sedih jika harus percaya apa yang diberitakan media hari ini.
Hanya membaca dari layar kaca dan dari secarik kertas koran, pikiran tiba tiba melambung jauh. Memikirkan negara yang sedang kacau. Karena telah dijadikan arena balap kuda. Mengukur kehebatan joki dalam menunggangi kuda. Negara adalah kuda. Dan negara lain adalah penonton yang menyaksikan langsung pertandingan pacu kuda ini.
Saya tidak takut menulis jika itu adalah benar. Benar jika memang seorang Dahlan Iskan divonis penjara dua tahun. Sedang Gubernur (DKI) Jakarta, BTP, divonis satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan.
Itu artinya BTP baru dihukum selama satu tahun kurungan jika dalam tempo dua tahun ini dia mengulangi kesalahannya (atau kembali melakukan kesalahan yang meresahkan masyarakat). Nah kalau dalam waktu dua tahun dia berbuat baik saja, tentu hukuman tak dapat dikenakan padanya.
Dalam hal ini sepertinya kita dapat membaca, ada oknum yang sengaja membumikan kasus kasus yang melahirkan simbol tragedi "tiga deret angka" itu. Dan oknum ini berhasil. Lalu yang dijadikan objek sebetulnya sudah masuk dalam permainan itu sendiri kini kemudian bersama sama merayakan hasil permainan dengan tertawa bersama.
Masyarakat biasa yang hobi menonton layar kaca hanya bisa bersuara palsu. Dan yang mengkritisinya lewat gagasan gagasan di koran koran cetak atau media daring, tak pernah dibaca. Hanya ditunjuk tunjuk lalu dilempari kata kata beranak binatang.
Di sini saya tidak mau menyinggung soal teori apa pun dalam hal supaya mau dikata agar tulisan bernilai ilmiah. Saya tak suka teori. Sebab selalu saja teori itu hanya kamuflase dari pikiran. Kenyataan seringkali bertolak arti dengan teori. Meskipun memang teori tak sepenuhnya dapat disalahkan. Karena teori selalu punya dua mata. Ada yang mendukung ada juga yang berlainan pandang.
Saat ini orang orang disibuki dengan diskusi diskusi tentang politik kenegaraan. Diskusi itu telah masuk ke lorong lorong kecil sebuah perkampungan warga. Bahkan kata mereka yang punya ilmu, "hukum tak boleh disandingkan dengan politik" sungguh itu hanyalah omongan kosong semata.
Di saat yang seharusnya tenang menghadapi masyarakat, kini yang ada di lembaga peradilan masih tetap takut dan merasa was was jika personil polisi datang menghampiri markasnya.
Dan siapa pun pejabat yang kerja di bawah naungan kenegaraan, akan selalu dipaksa untuk tunduk pada atasan, meski kadang harus meninggalkan kata hati sendiri. Menyikut kawan dan menginjak bawahan.
Masyarakat kita sengaja didesain untuk menjadi jiwa jiwa apatis. Penuh dengan keragu raguan di hatinya. Menjadikannya mudah menyalahkan. Serta tak lagi memerhatikan hal hal kecil yang terjadi di keseharian.
Kita tak lagi memandang kehidupan sederhana sebagai prioritas utama. Seperti bermain dan bercengkerama dengan teman, sahabat, keluarga atau tetangga. Sudah kurang pula acara yang benar benar acara. Misalkan makan bersama diikuti dengan pembicaraan hangat. Dan hal lain yang berhubungan dengan menjaga alam.
Kita disibuki teknologi yang ada di tangan kita saat ini. Seakan akan benda kecil ini menjadi pengalihan jika kita tak tahu harus berbuat apa atau harus berkata apa.
Dan pada akhirnya, boleh dipastikan jika desa desa sudah diracuni virus kota. Pesantren pesantren sudah melebihkan paham keduniaan. Sebentar lagi, dua puluh tiga puluh tahun yang akan datang, kita sudah berada di antara puing puing negara yang dulu adijaya. Kita akan mengungsi di negeri kita sendiri. Indonesia yang kita cintai ini, akan diambil alih oleh penjajah yang sudah lama berada di belakang layar pada setiap permasalahan yang terjadi di negara ini.
*Tulisan ini sebelumnya sudah diposting di laman Facebook pada 26 April 2017 dengan judul Mengungsi di Negeri Sendiri.
Source : https://onraceandracism.files.wordpress.com/2014/12/pinned.png |
Comments
Post a Comment