Skip to main content

Puisi, Perempuan, dan Cyberculture - Esai Mohd. Sabri AR



SEBUAH puisi lahir ketika semesta lambang, galaksi makna dan realitas bertaut. “Les mots ne sont pos innocences,”—tak ada kata-kata yang polos—begitu  pendakuan filsuf Prancis, Pierre Bourdieu. Selalu saja ada ruang yang tersisa pada kata: tafsir, hasrat, dan juga kuasa. Bahasa, bagi Bourdieu, bukan sekadar instrumen komunikasi dan modal kultural, tapi juga tindak-sosial. Itu sebab, kapasitas bahasa aktor sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya.

Dr. Mohd. Sabri AR**  (Source: Kabarselatan.com)

        Bahasa selalu diproduksi di dalam habitus dan “pasar linguistik”: sebuah arena tempat dimana wacana tercipta. Mungkin itu sebabnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), mengandaikan jika pasar linguistik memiliki language game dan form of life: bahwa setiap bahasa dalam kehidupan yang aneka punya aturan main dan arena yang khas. Senafas dengan Wittgenstein, Bourdieu meletakkan bahasa sebagai sebuah arena, kancah, dan juga pertarungan. Di setiap pasar linguistik, karena itu, selalu saja ada wacana yang dominan dan memenangkan pertarungan. Bourdieu menyebutnya doxa.
     Bourdieu lebih jauh melukiskan, relasi komunikasi antara pengirim pesan (émetteur) dan penerima pesan (récepteur) dalam habitus linguistik, dibangun berdasarkan “konstruksi” kode-bahasa oleh pengirim dan “dekonstruksi” simbol-bahasa oleh penerima. Di sini, Bourdieu ingin menyatakan wacana yang dikirimkan bukan semata wacana atau ide yang diharapkan bisa dipahami dan ditelaah oleh penerima, tapi juga merupakan kumpulan kode atau jagat simbol yang bertujuan untuk “diapresiasi dan dipatuhi”. Hasrat untuk “diapresiasi dan dipatuhi” menunjukkan otoritas (signes d’autorité) yang ingin diraih oleh setiap aktor sosial. Bahasa sebagai modal kultural—dalam permenungan Bourdieu—menampilkan dua paras yang bertukar tangkap dan saling meniadakan: pertikaian sengit antara doxa dan wacana yang ingin mengerkahnya atau heterodoxa.
      Tapi puisi—tepatnya  bahasa puisi—bukanlah ide, wacana apalagi doxa. Dalam puisi, dalil filsafat Cartesian, cogito ergo sum—“saya berpikir maka saya ada” dipatahkan secara absolut, karena yang berlangsung dalam puisi adalah, “saya mengalami maka saya ada”. Di sini diandaikan jika pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan realitas, tapi keterlibatan eksistensial di dalamnya.
     Jika ilmu dan filsafat mewujudkan pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah perasaan menjadi pikiran, nada menjadi balok-balok not, getar rindu jadi psikologi, ilham menjadi proposisi dan argumentasi; maka puisi membalik paradigma tersebut pada posisi asalnya. Pada puisi, yang berlangsung sesungguhnya adalah transposisi: pikiran menjadi pengalaman dan nuansa, rindu menjadi getar-rasa yang asing, argumentasi berubah menjadi intuisi-batin, dan ilham menjadi horizon eksistensial tentang eksotisme kepak sayap kupu-kupu dan tarian kemilau embun di pucuk-pucuk cemara, atau visun tentang bau tanah sawah dan laut biru yang meniru warna langit. Seorang ilmuan dan filsuf berusaha mengonstruk pikiran dan ide, sementara seorang penyair berkhidmat menemukan makna.
    Dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004), Ignas Kleden bahkan mengutip pendakuan penyair Soetardji Calzoum Bachri, “bahasa dan kata-kata bukanlah medium untuk seorang penyair. Sebaliknyalah yang terjadi dalam puisi: bahasa dan makna bergerak ke arah mana saja dan kemudian menemukan seorang penyair sebagai mediumnya dan kemudian menjelma di dalamnya”. Di titik kesadaran inilah seorang penyair dan intelektual bertaut, yang lazim dibilangkan sebagai public intellectual.
   Intelektual publik adalah orang-orang yang telah mengalami extention of self dalam menggauli masalah masyarakat dan bangsanya. Sebuah kesadaran out of the box yang melampaui sekat-sekat teritorialitas, primordial, etnik, dan agama. Sebuah kecenderungan—jika bukannya keberanian—menerobos sekat yang berlapis: disiplin akademisnya, melangkah keluar dari kebudayaannya, batas kompetensi profesionalitasnya. Di posisi ini pula M. Galang Pratama meletakkan dirinya dalam dinamika kebangsaannya.
       M. Galang Pratama, anak muda yang memilih “dunia kepenyairan” sebagai manifestasi cinta, bukan sekadar aktivis mahasiswa yang gandrung pada sastra, khususnya puisi, ketika melahirkan karya antologi puisinya, Pranala: Kitab Puisi (2018), tapi lebih merupakan sosok intelektual publik yang gelisah dan prihatin sembari menerbitkan gairah asa terhadap dinamika kehidupan bangsanya.
     “Puisi—ungkap Goenawan Mohamad­­—datang pertama kali kepada kita lewat nadanya.” Dan sajak-sajak M. Galang Pratama adalah sebilah pesan yang benada tutur, beraksentuasi landai. Puisinya seolah jejak dari sebuah gumam, bisikan yang pradah. Ia adalah seorang yang tidak percaya begitu saja dengan nada tegas, hiruk-pikuk dan heroisme. Puisinya adalah sebuah bisik yang menyentuh batin, ibarat putik bunga yang mencium rembulan: ia mempercakapkan sesuatu tidak dalam posisi menggurui, menuntun, dan meneladankan, tapi dengan rendah hati mengajak untuk tenggelam bersama dalam samudera ontologis kehidupan. Itu sebab, puisinya ibarat getar senyap dengan spectrum yang luas: menampilkan satire, amarah, kejenakaan, kepedihan, kegalauan, spiritualitas, tapi juga misteri cinta.
      Pada akhirnya, sebuah puisi tidak hadir sebagai ide, gagasan, atau  konsep, tapi ia datang sebagai sayap jiwa yang menyengat: bahwa hidup tidak sepenuhnya empirik dan rasional, tapi juga merengkuh hal-hal yang infinitum, misterium, dan tak tercakapkan.
                                                                    ***                 
    Saat misterium menjalar dalam senyap, selalu ada yang tekun menanti isyarat: Ibn ‘Arabi. Ia yang terjaga di dua pertiga malam, merengkuh cahaya dan mewartakan visi transenden: jejak, lalu tanda, kemudian Tuhan yang tak terjaring makna, Hadir, menanam kode dalam kancah yang nihil: Dia Yang Maha Bukan. Dalam perjumpaan yang sekejap dengan aksara batin dari langit, corpus dei, percakapan tentang Tuhan barangkali memang hanya idea yang terlontar dari kesunyian mutlak, yang tak tunai dalam kalam.
            Tapi dari pojok abad ke-7 Hijriyah yang beku, gurun adalah rongga yang asing, menjelma sebilah kesaksian atas simpul kalam teosof genial Ibn ‘Arabi: “Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri perempuan.” Sebuah dentuman yang mengguncang, di tengah kuatnya arus otoritarianisme religius kaum laki-laki. Inilah titik silang diagonal dari doktrin Ibn ‘Arabi tentang Tuhan: tanzih (theologia negativa) dan tasybih (theologia positiva). Pernyataan Ibn ‘Arabi dalam Fushûsh al-Hikâm tersebut, lebih merupakan aksara yang menghentak sembari meneguhkan satu hal: tajalli, sebuah doktrin ‘irfani tentang citra dan “manifestasi” Tuhan. Ibn ‘Arabi mendaku, wujud hanya dinisbatkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq, dimaknai sebagai tajalli  atau manifestasi Al-Haqq.
            Mungkin memang musti begitu, selalu ada yang tak selesai dalam sejarah: ajaran yang pernah soliter jadi beku. Dan yang liar harus ditaklukkan dalam tertib. Religiusitas “maskulin” lalu menjadi paradigma dominan pada cakrawala Islam Abad Tengah. Mungkin, karena pembacaan yang landai dan nafas teratur terhadap identifikasi Tuhan sebagai “Dia maskulin”, menyebabkan laki-laki merebut hak “istimewa” dari pada perempuan: laki-laki mendapatkan hak waris lebih  besar dua kali lipat; laki-laki berhak menjadi imam shalat, sementara perempuan tidak; suara perempuan dianggap aurat; dan seterusnya. Dalam hal kebertubuhan, perempuan juga mengalami “stereotip” yang mengenaskan: hukum agama menerapkan tak sedikit aturan yang cenderung meletakkan tubuh perempuan  sebagai sesuatu yang kotor dan najis, berbeda dengan tubuh laki-laki yang mudah suci, dan karenanya lebih “terhormat”.
Ada kecemasan tertentu pada agama sehingga perempuan harus dilindungi dan disucikan demikian rupa  agar ia setara dengan laki-laki. Dalam hukum agama, akar semua kelemahan perempuan agaknya terletak pada tubuhnya yang potensial menjurus pada dosa. Tubuh perempuan dianggap berbahaya karena dapat mendorong laki-laki untuk melakukan perbuatan terlarang. Godaan perbuatan tak senonoh, tidak terbit dari imajinasi laki-laki, tapi tubuh perempuan yang sensual. Fiqh menjadi lembaga yang jumawa dan cerewet, menjadi struktur religiusitas yang membatu. Dan dalam struktur kita mahfum, selalu ada yang sibuk berlindung di balik selubung: tendensi otorita.
Di sini, tradisi ‘irfani Islam membentangkan gagas alternatif lalu mengembuskan tanya radikal: Benarkah perempuan itu makhluk sekunder? Apa akar ontologis dari perbedaan gender? Apakah Tuhan itu maskulin atau feminin, keduanya sekaligus, atau bukan kedua-duanya? Memang, dalam literasi Al-Qur’an, Tuhan selalu dirujuk  dengan “Dia maskulin” seperti Yang Mahaperkasa (al-Qahhar), Yang Mahaagung (Akbar), dan Yang Mahagagah (al-‘Azis). Kaum ‘irfani seperti Ibn ‘Arabi menyadari jebakan maskulinitas itu.
Dalam Futuhât al-Makkiyah Ibn ‘Arabi mendaku, perempuan memiliki kedudukan yang setara, dan bahkan dalam derajat spiritual tertentu, mengungguli laki-laki. Ia lebih jauh menafsirkan secara spiritual kata mar’ah yang berarti “perempuan”. Menurutnya, jika laki-laki  disebut dalam Al-Qur’an mar’ dan perempuan mar’ah (dengan tambahan huruf ha’), itu dilakukan Tuhan bukannya tanpa hikmah. Imbuhan ha’  pada kata mar’ah melambangkan satu tingkat kesempurnaan yang ditambahkan Tuhan kepada perempuan. Uniknya, ha’ itu bersifat aktif dan pasif sekaligus, karena ketika dibaca ia menjadi “penyambung” bagi kalimat sesudahnya. Tetapi ha’ juga bersifat pasif, karena menandai saat-saat ketika pembaca berhenti dan mengakhiri bacaannya pada titik itu. Dengan kata lain, ha’  adalah Kehidupan dan Kematian sekaligus, yang menyambung harapan kepada apa yang akan datang, tapi juga berakhir dan mengakhiri dirinya dalam ketiadaan dan kekosongan.
Dalam permenungan mistiknya, Ibn ‘Arabi melihat jika citra “Tuhan maskulin” berakar demikian kuat dalam jantung kesadaran agama monoteis, hingga mengaburkan kenyataan sesungguhnya, bahwa Tuhan pun “mengandung” anasir feminin. Memang, nama Tuhan tertinggi adalah Allah yang bersifat maskulin, tapi dalam level lain Allah juga disebut dengan nama feminin al-Dzat, yang mengandaikan esensi Tuhan yang tak terjangkau dan tak tercakapkan. Tapi uniknya, ketakterjangkauan Tuhan dan kemustahilannya untuk “dinamai”, justru dirujuk dengan nama feminin yang sangat dekat dengan denyut nadi manusia: Yang  Mahalembut (al-Lathîf), Yang Mahakasih (al-Rahmân), Yang Mahasayang (al-Rahîm) adalah episentrum dan nafas feminitas Tuhan, yang merengkuh segenap keluh, derita, luka, dan rindu manusia dalam “ketercelupan ontologi” yang sempurna, dalam dekapanNya yang sublim.      
           
***
“Tuhan telah lepas dan meninggalkan sebentuk lubang pada diriku”. Sartre mengatakannya, atau saya mengatakannya dengan meminjam alegori Sartre, tentang Tuhan yang tak lagi relevan. Tuhan pernah menjadi inti semesta dalam sejarah pemikiran dan estetika juga politik Kristen Barat. Lalu Rasionalisme, dan kegilaan Abad Pencerahan dengan segala yang akali,  gagal menunjukkan di manakah Dia yang disebut-sebut dalam doktrin agama dan tradisi autentik. Di sana, pelan-pelan Tuhan tak lagi punya alibi.  Tapi orang juga sering lupa bahwa di balik kegundahan akut tentang Tuhan, nafasNya justru mengalir deras dalam jantung mereka yang tekun menanti isyarat, setia merengkuh misteri: Sophianic Feminine.
        Secara generik, Sophianic Feminine (Wanita Bijak) pertama kali dikenalkan Henry Corbin ketika melukiskan hubungan sublim Tuhan-manusia yang penuh gairah, khususnya perspektif mendalam dan prinsipil posisi “feminin” dalam skema segala hal, baik sensual maupun spiritual. Tentu saja, makna utamanya berhubungan dengan ide “feminin” sebagai manifestasi Kebijaksanaan Ilahiah atau ‘Sophia’ yang merupakan pesan arkhaik Perjanjian Lama, baik dalam “Ecclesiastes” maupun “Apocrypha Ecclesiasticus”. Di dalam Yudaisme, figur Wanita Bijak ini terus berkembang dalam bentuk yang sangat menarik, khususnya dalam ide Shekhinah, seperti kajian R. Partai dalam Hebrew Goddess (1978).
    Paralel dengan makna tersebut, trdaisi Hindu Tantrisme mengenal sosok feminin Shakti, dari akar kata Shak, yang berarti ‘membuat, melakukan, dan memperkuat.’ Fungsi Shakti-Ilahi yang paling utama adalah memberikan kepada Person-Ilahi, isi dan inspirasi bagi pengetahuan Diri dan kalamNya yang kreatif. Sophianic Feminine karena itu, ‘kekasih’ yang memimpin segenap tegangan yang mungkin terjadi dan mengharmoniskan prinsip-prinsip hubungan yang membentang luas baik dalam sifat Ilahi, manusia, atau kosmik yang misteri ini lalu terefleksikan dalam gelar Maryam, Theotokos atau “Pengandung-Tuhan” dalam tradisi Kristen dan gelar serupa yang disandangkan tradisi Islam tertentu kepada Fâtimah sebagai Umm Abîhâ atau “Ibu dari Ayahnya”.
       Maryam/Maria, ibunda ‘Isâ, figur yang sangat penting dalam Kristen, mempunyai kedudukan terhormat dalam Alquran bukan karena diabadikan sebagai nama surah, tapi juga dilukiskan sebagai wanita yang dipilih Tuhan, untuk membaktikan dirinya beribadah kepada Tuhan dan—bersama dengan anaknya (Yesus/’Isâ)—sebagai “tanda untuk segenap kosmik” (QS.3:41 dan 21:91).
Al-Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi dalam karya mistiknya Fushûsh al-Hikâm mendaku, “pada diri wanitalah laki-laki dapat sungguh-sungguh merenungkan Keilahian. Kehadiran wanita adalah Imaji Ilahi. Sebab itu, bentuk paling sempurna kontemplasi tentang Tuhan adalah pada diri wanita”. Lebih jauh Ibn ‘Arabi melalui kaji linguistik yang ganjil, menunjukkan jika Feminin juga—dengan cara subtil—lebih superior dari maskulin. Ia mendeduksi sebuah Hadis Nabi, lalu menginterpretasikan kata ‘tiga’ hal yang disukai Nabi: wanita, wangi-wangian, dan salat adalah berbentuk muannast (feminin), meski salah satu di antara ketiganya berbentuk mudzakkar (maskulin). Di sini, bagi Ibn ‘Arabi, Nabi secara halus bermaksud menegaskan kelebihan Feminin. Untuk menopang deduksinya ini, Ibn ‘Arabi lebih jauh menunjukkan, mayoritas kata yang terkait dengan “asal-usul” dan “penciptaan” berbentuk feminin, seperti ‘esensi’ (dzât), ‘sebab’ (‘illah), dan ‘kekuatan’ (qudrah). Kata benda mudzakkar ‘wangi-wangian’ ditempatkan di antara dua kata kerja muannast, ‘wanita’ dan ‘salat’, menunjukkan jika laki-laki menemukan dirinya “di antara” Zat Ilahi (feminin) dan wanita (feminin). Hal ini bermakna, laki-laki memiliki dua asal-usul: yang pertama (Tuhan) dan yang kedua (wanita).
Fushûh al-Hikam, karena itu, menampilkan analisis dan eksposisi yang dalam dan mencengangkan tentang berbagai aspek dari Sophianic Feminine: fungsi kutub, kontemplatif, dan penyingkapan (mukâsyafah). Juga fungsinya yang “mendamaikan” dan menghubungkan antara jiwa-materi, Tuhan-manusia, dan manusia-kosmos. Dalam kaitan asal-usul dan proses penciptaan dan menjadi, Ibn ‘Arabi jelas sangat apresiatif pada hakikat feminin dan corak misteri primordial agung ini. Sebelum penciptaan, ketika Realitas Ilahi sepenuhnya adalah diri-Nya bagi Diri-Nya (itself to Itself), tidak ada eksistensi atau proses menjadi, hanya ada wujud murni; tidak ada ‘yang lain’ atau bilangan selain kemanunggalan murni dalam keseluruhan yang tak tercakapkan, tak terlukiskan, tak terbayangkan, dan tak terpisahkan: sebuah penyatuan yang bagi banyak mistikus merupakan puncak pengalaman mistik. Ibn ‘Arabi melihat sebilah cahaya pertama dari proses kreatif yang diekspresikan dalam Hadis Quds, “Aku (Tuhan) adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan kosmos”.
Cipta, sebagi proses menjadi, oleh Ibn ‘Arabi digambarkan posisi feminitas Tuhan seolah-olah sebagai ‘kehamilan’ karb ‘azhîm, sementara ‘kelahirkan’ kosmos aktual sendiri digambarkan sebagai Nafs al-Rahman’, dengan Hakikat Universal—yang terepresentasikan  secara simbolik oleh wanita di bumi. Itu sebab, dengan Nafas FeminitasNya, Tuhan merengkuh segenap-ciptaNya dengan cinta.

***
Setiap sistem pemikiran, mengandaikan sesuatu yang tunggal, universal, dan total: menampik liyan, dan karena itu represif. Jacques Derrida menyebutnya “logosentrisme”. Dengan teknik yang aneka, ia mengguncang logosentrisme yang telah baku dalam pualam pemikiran Barat yang membentang sejak pra-Sokrates hingga Heidegger. Jika Nietzsche mengabarkan “kematian Tuhan,” Derrida membisikkan ambang akhir “era ujaran” dan permulaan “era teks”. Palu yang ia pakai untuk merubuhkan bangunan lama adalah dekonstruksi.
       Déconstruction, sebuah kata remeh dalam bahas Prancis, tapi punya makna magis di tangan Derrida. Dekonstruksi  telah mengglobal dan memasuki berbagai bahasa. Kata yang tumbuh dari ladang filsafat ini telah menembus ke aneka teritori keilmuan: sastra, teologi, seni, arsitektur, politik, pendidikan, kritik musik dan film, sejarah, hukum hingga agama.       
         Dekonstruksi mewakili sebuah hasrat untuk membongkar bangunan yang telah mapan. Sebab itu, ia menjadi yel-yel  bagi kelompok anti kemapanan. Tapi tak sedikit pula yang mencibirkannya. Gadamer, Frank, dan Habermas, adalah sederetan pemikir pemuka yang menciptakan badai kritik terhadap dekonstruksi. “Bagi saya dekonstruksi ini, bukan upaya intelektual serius. Éperons Derrida misalnya, tak lebih dari akrobat sastrawi yang tak terkait dengan soal kemanusiaan, religius, dan moral,” ungkap Gadamer.
          Bagaimana dekonstruksi berlangsung dalam metafisika Barat yang logosentris? Begitu retorika Simon Critchley dan menjawabnya sendiri: “pemikiran Derrida selalu merupakan pemikiran  tentang  sebuah teks dan dekonstruksi selalu terkait dengan pembacaan kritis atas teks.
         Derrida mendaku, “mendekonstruksi filsafat, berarti memikirkan genealogi terstruktur konsep-konsep filsafat.” Dalam sejarahnya, lanjut Derrida, filsafat lebih mengutamakan ucapan (voice) ketimbang tulisan (writing). “Sejarah metafisika, dengan  segala dinamikanya, selalu menunjuk logos sebagai asal kebenaran yang terletak pada ujaran, bukan tulisan.” Logos adalah prinsip asali yang hadir pada dirinya sendiri, dalam arti filosofis pra-Sokratik. Inilah cara pandang nostalgia: di dalam logos, kebenaran hadir,  di luar logos, tidak ada kebenaran dan makna.
        Sepanjang sejarah logosentrisme, phoné (suara, ucapan) diyakini punya hubungan asali dengan logos atau pikiran. Manusia, karena itu,  mengenal kebenaran dan makna yang berasal dari Logos Universal lewat pikiran, lalu orang mengenal isi pikiran lewat ucapan. Tapi dalam logosentrisme, jarak antara “logos-pikiran-ucapan” terabaikan. Ketiganya diyakini sebagai satu kesatuan. Argumennya: apabila seseorang berbicara, ia langsung mengatakan apa yang dipikirkannya. Itu sebabnya, ucapan dipandang sebagai sarana paling baik untuk menyampaikan kebenaran dan makna.
        Bagaimana dengan teks? Teks lebih sebagai “suplemen” dan transkrip dari ucapan bagi seorang yang tidak hadir dalam percakapan. Sebagai transkrip, ia lebih “rendah” dari percakapan. Tidak seperti percakapan, orang yang menulis butuh medium, yakni huruf-huruf. Karena itu pula, antara tulisan dan pikiran ada “jarak”. Itu sebabnya, tulisan kurang dipercaya sebagai penyeranta kebenaran dan makna. Di sini letak alasan, mengapa logosentrisme menjunjung ucapan dan merendahkan tulisan.
       Bagi Derrida, logosentrisme berhasrat mengontrol kebenaran dan makna. Caranya, dengan megasalkan kebenaran dan makna pada “logos yang hadir” atau dalam arti sempit pada pembicara yang hadir. Di titik inilah Derrida membalik cara berpikir logosentrisme. Ketika Derrida mendekonstruksi tulisan Hegel, Derrida memperlihatkan bahwa bagi Hegel aspek audibel-temporal (fonetik-alfabet) dan visibel-spasial (nonfonetik) punya tempat masing-masing dan nilai yang setara. Namun, Hegel tetap mengandalkan tulisan alfabet. Semuanya berada dalam tradisi yang mengunggulkan ucapan daripada tulisan, sebab “ada” dimaknai sebagai kehadiran.
    Heidegger yang berambisi merontokkan metafisika pun masih berupaya mendengarkan “suara-ada” (voice of being). Namun yang ia temukan adalah (sesuatu yang) diam, bisu, tanpa nada, tanpa kata, secara asali a-phonic. Pada Heidegger terjadi keretakan antara “makna asali ada” dengan “kata”, antara “makna” dan “ucapakan”, antara “suara-ada” dan “phone”. Inilah yang disebut Derrida sebagai ambiguitas Heidegger dalam kaitannya dengan metafisika kehadiran dan logosentrisme.
        Dalam Zur Seinsfrage, Heidegger memperbolehkan kata “ada” dibaca justru setelah kata ini dicoret. Namun, pencoretan ini bukan hanya simbol negatif, tapi merupakan tulisan terakhir dari sebuah zaman. Kehadiran tinanda transendental telah dihapus, tapi ia tetap terbaca. Dihapus, tapi tetap terbaca, dihancurkan sementara justru membuat tampak gagasan menjadi tanda. Gagasan mengenai tanda, ternyata diperoleh  bukan lewat ucapan, tapi tulisan. Di sini, Derrida mengenalkan konsep tanda sebagai jejak, gram, atau différance. Dengan gagasan ini, tidak ada elemen tanda yang hadir dan mengacu pada dirinya sendiri; semuanya mengacu pada tanda lain yang berbeda dari dirinya dan tidak hadir. Tanda-tanda ini membentuk rantai, tenunan, yang diproduksi dari teks lain.
      Begitulah, dengan mendekonstruksi logosentrisme, Derrida akhirnya melanjutkan proyek Nietzsche dalam meradikalkan konsep penafsiran, perspektif, evaluasi, dan perbedaan.  Bersama Nietzsche, Derrida berupaya membebaskan penanda dari ketergantungannya pada logos, sebuah pengandaian nostalgia yang sejauh ini diyakini sebagai asal kebenaran.

***
Mulanya adalah tanda, juga jejak yang merayap, lalu meluahkan anggitan yang mengguncang: cyberspace. Terma cyberspace, untuk kali pertama disuarakan William Gibson (1984) melalui novelnya yang masyhur Neuromancer. Sejumlah aggitan yang disepadankan dengan cyberspace seperti the Web, the Cloud, the Net, the Matrix, the Datasphere, the Metaverse, the Information Superhighway, dan seterusnya menjadi aneka warna eksotik yang teranyam dalam karya Gibson.
            Cyberspace kelak menjadi setting utama novel-novel Gibson, Count Zero (1986), Mona Lisa Overdrive (1988), dan Virtual Light (1993). Itu sebab,  karya-karya fiksi yang mengikuti jejak Gibson disebut cyberpunk. Untuk gejala terakhir, Pat Cadigan dipandang sebagai representasinya yang paling cemerlang menyusul karya-karyanya, Patterns (1989), Synners (1991), dan Fools (1994). Dalam Neuromancer, Gibson mengandaikan cyberspace sebagai  “lukisan yang terbit dari komputer yang ‘ditancapkan langsung’—dalam bentuk elektroda-elektroda—ke dalam soket-soket yang ditanam di otak”.
            Dalam Cultural Studies, percakapan cyberspace belakangan memasuki aspek yang lebih luas:  sosial, budaya, ekonomi, bahkan menerobos ke wilayah ideologi politik-demokrasi sehingga dikenal sebagai  studi cyberculture. Sherry Turkey bisa dibilang pentolan studi cyberculture yang paling bersemangat dan meneliti relasi antara manusia-komputer-kepribadian sejak dekade 1980-an. Dalam magnum opus-nya, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1995), Turkey melukiskan pergeseran fungsi komputer dari babak modernitas ke posmodernitas. Jika babak pertama memosisikan komputer sebagai medium yang membikin pekerjaan manusia jadi super cepat, yang terakhir justru menciptakan “budaya simulasi” .
            Dunia simulasi mengandaikan tercabiknya identitas ke dalam multi-identitas atau dari realitas ke hiperialitas. Sedemikian rupa sehingga sederet ilmuan seperti Hugo Cornwall, John Markoff, dan Stephen Levy, mengembangkan gagasan identitas dan anonimitas ke habitus sosial politik. Studi-studi  mereka menunjukkan jika cyberspace adalah tapal batas akhir sejarah sosial manusia: transparansi sosial kian terkuak—ditandai  dengan luruhnya kategori, teritorialitas, dan hirarki sosial—yang sejauh ini mengonstruk sebuah masyarakat.
            Filsuf Jean Baudrillard mendaku, dalam realitas cyberspace yang berlangsung bukanlah hukum “kemajuan” (progressivity)—sebab kemajuan bermakna ekspansi teritorialitas—tapi hukum “orbit”. Melalui hukum orbit segala sesuatu bergerak siklis secara global dan mengalami transmisi: dari teritorialitas ke teritorialitas yang lain, dari kebudayaan ke kebudayaan yang lain, dan seterusnya, di mana wujud sepenuhnya berubah ke dalam realitas virtual.
       Tak kurang dari Nicholas Negroponte—pendiri MIT Media Lab—bahkan mengajukan konsep “metafisika cyberspace” yang mengandaikan jika partikel dasariah yang menopang realitas bukanlah atom—sebagaimana dikenal di dunia “kongkret”—tapi bit (digital biner), sebuah realitas mikroskopik dalam DNA informasi. Bit dilambangkan sebagi 1 atau 0 yang mengandaikan dua keadaan: atas/bawah, on/off, hitam/putih,  muka/belakang, dan seterusnya.
            Realitas bit inilah yang menjadi partikel generik komputasi digital yang mencirikan: tidak memiliki massa dan punya kemampuan melesat dalam kecepatan cahaya. Itu sebab, dalam cyberspace,  semua produk kebudayaan selalu berbentuk bit sehingga memudahkan proses pemindahan sebuah benda dari satu tempat atau teritorial tertentu ke lain tempat. Misalnya, dulu untuk memindahkan data—buku dan jurnal ilmiah—dari  perpustakaan  Harvard University misalnya, membutuhkan kemasan besar dan bisa makan waktu berbulan. Untuk hal yang sama, dalam cyberspace hanya membutuhkan waktu sepenggal detik tanpa butuh jasa TIKI.
            Lebih jauh Negroponte mendaku, jika kebudayaan lama digerakkan oleh atom, maka cyberculture  melesat melalui bit. Ekonomi lama mengandaikan industri benda-benda, dalam cyberspace digerakkan oleh industri bit. Dampak yang lebih luas terhadap peradaban manusia adalah bergesernya orientasi dari “ruang-waktu” konvensional yang meniscayakan modal besar kepada ruang cyberspace yang “mungil” dalam sebuah homepage.
            Di sini, manusia terutama kesadarannya, telah dibajak oleh hiperialitas, dan kian kehilangan otentisitas dirinya. Ketimbang percaya kepada “parasnya” sendiri, manusia kini lebih percaya pada apa yang populer dalam psikoanalisis sebagai ‘citra cermin’ (mirror image) dari dirinya sendiri.
            Jacques Lacan dalam Ecrits (1977), mengidentifikasikan hal tersebut pada balita usia dua bulan. Pada fase ini, seorang balita pertama kali “mengenali” dirinya sendiri melalui cermin. Apa yang dilihatnya, sebetulnya bukan diri, tapi ‘representasi ideal’ yang dikonstruksinya  melalui mekanisme imaginary yang disebut Lacan sebagai ‘ego-ideal’, yaitu suatu mekanisme psikologis yang memompa kesadaran balita menilai dirinya sendiri sebagai ‘obyek’ dan ‘subyek’ yang manunggal, sehingga menjadi satu bentuk representasi.
            Representasi dan simulasi itulah yang menjadi watak dasar cyberspace. Itu sebab, seni dan kebudayaan dalam cyberculture, menjelma sebagai apa yang diandaikan Julia Kristeva dalam “The Adolescent Novel” (1990), drama ‘seolah-olah’ (as if). Oleh karena kebudayaan terlanjur disarati oleh penopengan, penjungkirbalikan, dan pembajakan kode, maka antara berbagai kategori “patut/tak patut” atau “normal/abnormalitas” lalu bertaut dalam napas kehidupan cyberculture.
***
Ada pertanyaan dengan nada hasutan: “tentang Barbie”, “ya, tentang boneka cantik mainan anak-anak itu, pernahkah terbayangkan jika kehadirannya telah menelan bulat-bulat realitas sejati kehidupan kita”? Mungkin belum. Mungkin juga tak akan.
            Ketika boneka Barbie, untuk pertama kali merasuk ke ruas-ruas rumah keindonesiaan kita pada dekade 80-an, sejumlah pihak memandangnya sebagai jejak arus yang menyeret Indonesia ke dalam kancah masyarakat konsumerisme global. Sebuah boneka—yang  lebih merupakan kebutuhan kesekian dan tersier—tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan percakapan ramai, tidak hanya di kalangan anak-anak tapi juga orang dewasa. Hasrat memiliki Barbie kemudian dapat dibaca sebagai gejala kebiasaan baru: membeli sesuatu yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan. Di sini, “nilai guna” dikoyak oleh “nilai tanda” yang mengandaikan kelas, dan juga gengsi.
        Kehadiran Barbie juga menggemakan satu hal, hiperialitas: sebilah gejala apa yang diandaikan filsuf  Jean Baudrillard sebagai “realitas-realitas citraan” yang bahkan nampak lebih real ketimbang  realitas itu sendiri. Baudrillard, dengan menggunakan analisis ekonomi-politik tanda mencoba mengungkap realitas-realitas hiper itu.
        Dalam karya monumentalnya, Simulacra and Simulation (1983), Baudrillard mendaku, simulasi adalah ‘refleksi tentang realitas’ atau sebuah ‘realitas’ yang masih tersisa setelah sistem tanda, kode,  atau media telah melumatnya habis-habisan. Simulasi, sebab itu, muncul sebagai upaya menciptakan kembali realitas-buatan sesuai kode yang dihasilkan media itu sendiri. Dengan demikian, ada tujuan yang secara sengaja menyebarkan simulacrum, yakni tiruan, imitasi atau mimikri “yang lebih nyata dari realitas” dan mengandaikan setiap ikhtiar pembedaan antara “benar” dan “salah”, “nyata” dan “imajiner” atau  “otentik” dan “palsu”, menjadi sesuatu yang tidak lagi mungkin.
      Hiperialitas memproduksi sebilah “citraan,” di atas mana kaslian berbaur dengan kepalsuan, masa silam bertaut dengan masa kini, dan tanda melarut dalam realitas. Di era komunikasi massa dan konsumsi massa sekarang ini, Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang sesuatu yang dilihatnya merasuk dalam semesta ‘kode’ yang terkait dengan dunia komputer dan digital.
      Kepesatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dewasa ini menyusul ditemukannya  prosesor mikro, bank memori, remote control, telecard, laser disc dan internet—dalam  pendakuan Baudrillard—tidak hanya mampu memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, tapi bahkan lebih fantastis lagi: dapat memproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia, menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan, menyulap halusinasi, ilusi, imajinasi, dan fantasi menjadi kenyataan, hingga menekuk realitas ke dalam sebuah layar datar televisi dan disket.
            Hiperealitas seperti media massa, disneyland, shopping mall, televisi, dan internet—dalam pendakuan Baudrillard—nampak  lebih real dari pada kenyataan sesungguhnya, di mana model, kode, dan citra hiperealitas bermetamorfosis sebagai pengontrol pikiran dan penculik kesadaran manusia. Bagi Baudillard, realitas buatan, di titik ini, telah kehilangan asal-usul, referensi faktual, atau pun kedalaman makna.
            Disneyland umpamanya, merupakan realitas citraan baru yang lebih real dari realitas sebenarnya. Sebagai  konsekuensinya realitas nyata kian kehilangan pesona dan daya tarik, bahkan sebaliknya dipandang bukan-ralitas. Sementara itu, di tengah gemuruh haus-belanja sebagai ciri masyarakat kontemporer, shoping mall justeru hadir sebagai pusat grafitasi baru aktivias masyarakat konsumen. Tapi lebih dari sekadar tempat belanja, shoping mall juga merupakan dunia simulasi yang memproduksi realitas-realitas buatan yang bersifat semu, namun di dalam kesemuannya itu justru menyodorkan suasana menyenangkan ketimbang realitas sebenarnya. Dalam shoping mall, segala sesuatu telah direduksi, dimanipulasi, dan disimulasi demi kesenangan dan kenyamanan berbelanja. Elemen-elemen lain dalam shoping mall semisal restoran, toko buku, tempat spa, salon, studio foto, semuanya dikemas dalam tema-tema eksklusif, lux, kosmopolit, dan berkelas, tapi menyodorkan makna-dangkal.
            Dalam bukunya, Sebuah Dunia yang Dilipat (1998), Yasraf Amir Piliang meluskiskan jika fenomena hiperialitas diikuti serangkain fenomena lain seperti, hypercare (perwatan wajah dengan aneka kosmetika yang menggoda), hypercommodity (merebaknya komuditas di hampir seluruh ruas kehidupan), hyperconsumption (kerakusan konsumsi tanpa seleksi), hypermarket (pasar sebagai pusat kesadaran, tanda, dan identitas baru), hypersensibility (ikhtiar berlebihan mencapai kepuasaan inderawi), hypersexuality (pengumbaran kepuasan sex-gila, seperti gejala “LGBT” (Lelaki Gak, Betina Tidak) yang merebak akhir-akhir ini, dan hyperspace (runtuhnya makna ruang menyusul berkembangnya ruang-semu di dunia cyber), dan seterusnya.
         Demikianlah, sosok hiperialitas seperti boneka Barbie, Rambo, Spiderman, Doraemon, Jurrasic Park, Batman, Robinhood, dan James Bond—atau dalam ruang “komikal” Indonesia dikenal sejumlah figure imajiner semisal Gundala, Maza, Pangeran Melar, Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Sembung, Jaka Tuak, dan seterusnya—karena itu, tidak hanya hadir sebagai jagat kode yang merayakan kematian realitas, namun nampak lebih karib dan nyata ketimbang tetangga kita sendiri!

            Samata, 7 Mei 2018





*Esai didedikasikan untuk Launching Buku dan Dialog Keperempuanan, :”Gerakan Perempuan dan Apresiasi Literasi di Era Digital”, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pidana dan Ketatanegaraan 
 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Senin 7 Mei 2018.
**Dosen Filsafat Mistik Pascasarjana UIN Alauddin Makassar dan Penggiat Kebudayaan.

Comments

Paling banyak dibaca

Om saya dan amplop easy shopping

SORE yang dingin, om saya dengan buru buru turun dari motornya. Ia membuka amplop yang bertuliskan namanya. Om mendapat amplop itu di kantornya. "Hanya ada satu nama Muhtar di kantor, itu saya," ujarnya Senin (31/08/2020). Lalu ia membuka paket yang di luarnya dibungkus dari kantongan berwarna hitam itu.  Ia mendapat kupon hadiah senilai 1 miliar. Tertera di amplop itu. Easy Shopping P.O. Box 6688, Slipi Jakarta Barat 11410 Di bawahnya ada tulisan warna merah tertulis:  NOMOR KEMENANGAN DISETUJUI Dengan font huruf kapital semua dan berwarna merah. Di bawahnya lagi tertulis  "Pengiriman bekerja sama dengan PT. Pos Indonesia" ANEHNYA Di belakang amplop, ada alamat website. www.easyshopping.id. Yang kalau Anda ketik di pencarian, tidak akan ketemu. Website rusak! Tak dapat ditemukan.  (Kok perusahaan tidak punya website?) pikir saya dalam hati.  Apalagi, merk Easy Shopping ini tertuju pada satu nama PT yang tertera di lembaran lain di dalam amplop. PT Karisma Bahana G

Empat Cara Agar Nama dan Foto Kamu Bisa Muncul di Mesin Pencari Google

BANYAK yang ingin melihat ketika namanya diketik di mesin pencari, maka yang muncul adalah foto dan tulisan tentang dirinya. Nah, bagaimana caranya agar foto dan tulisan tentang dirimu bisa muncul di halaman mesin pencari sekelas Google ? Coba perhatikan, mengapa artis dan penulis terkenal namanya bisa dengan mudah tampil di mesin pencari Google? Ya, jawabannya mudah, karena dia sudah dikenal, bukan? Namun bagaimana caranya buat kita yang belum terkenal? Caranya mudah sekali, coba klik nama "Muh. Galang Pratama" dan saksikan apa yang muncul. ( He he , daripada ambil contoh nama lain, mending pakai nama sendiri 😆😁). Beberepa cara yang sudah saya praktikkan dan kurang berhasil (#eh, maksudnya lumayan berhasil 😛), yaitu: Buat Blog dan Tulis tentang Keseharianmu Source: Diolah dari jpompey.com Kalian boleh saja membuat blog gratis dengan waktu lima menit. Ya, serius, hanya lima menit. Silakan klik  blogger.com  atau  wordpress.com.  (Tapi, saran jika mau cepat

Cara Melapor SPT Tahunan (Pengalaman Pribadi)

JAM MASIH  menunjukkan pukul 08.00 pagi. Jalan di kotaku masih terlihat sepi. Tapi saya sudah berada di Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Sungguminasa Kabupaten Gowa. Kantor ini terletak di Jalan Mesjid Raya No. 24, Sungguminasa. Pas baru tiba di kantor pajak ini, saya sudah melihat ada banyak yang antre. Puluhan. Ini kali pertama saya mengurus SPT Tahunan. Ya, sebab saya baru memiliki  NPWP kurang dari setahun. Saya punya dua NPWP. NPWP pribadi dan NPWP perusahaan. Saya lalu bertanya kepada petugas pelayanan pelaporan SPT. Pertama kali, saya ditanya apa sudah punya efin atau belum. Karena baru pertama kali melapor, otomatis saya belum punya. Akhirnya saya pun mengisi kertas kosong yang diberikan petugas untuk permohonan efin. Di dalam kertas itu ditulis nama wajib pajak, nomor npwp, nomor KTP, email dan nomor HP. Ini semua wajib ada. Saat di lokasi, kulihat seorang pria dewasa yang tak punya email, ia pun diminta oleh petugas untuk membuat

Apa itu "Mark Up"? | Penjelasan, contoh dan cara menghitungnya

Dulu, ketika tulisan saya terbit di kolom "Surat Pembaca Kompas" berjudul Jangan Revisi  edisi 31 Maret 2017, sekilas saya membaca isi surat pembaca lain di samping tulisan itu, judulnya Mengungkap "Mark Up" . Saat itu saya sama sekali tidak tahu apa arti dari kata "Mark Up" , saya pun tak punya rasa penasaran berlebih untuk mencari tahu frasa itu di mesin pencari daring. Akhirnya saya menghiraukannya.  Satu tahun berlalu. Saya bekerja di sebuah media. Menghadapi orang-orang mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas seperti pemegang jabatan pemerintahan. Mulai kepala desa, kepala dinas, bupati hingga anggota dewan. Saya bukan wartawan, saya hanya bekerja sebagai tukang cari iklan daring (online). Menawarkan ke orang  orang agar dirinya bisa dimuat di portal media daring.   Dari sini, saya baru tahu (atas pengalaman kerja yang baru beberapa bulan), arti dan maksud dari "mark up" itu. Akhirnya pikiran saya kembali ke awal tulisan ini. T

6 ajaran Jepang untuk menghancurkan rasa malas

INILAH 6 ajaran Jepang untuk menghancurkan rasa malas orang Indonesia: 1. ikigai, 2. kaizen, 3. hara hachi bu, 4. shohin, 5. ganbaru, 6. wabi-sabi Sumber : japan.com 1. Ikigai ( 生き甲斐): Konsep ini menggabungkan kata ‘iki’, yang berarti “hidup” atau “kehidupan,” dan ‘gai’, yang berarti “manfaat” atau “nilai.” Ikigai adalah apa yang memberikan nilai, makna, atau tujuan dalam hidup Anda 1 . Ini serupa dengan istilah Prancis “raison d’être” atau “alasan untuk hidup.” 2. Kaizen (改善): Kaizen adalah filosofi yang berfokus pada peningkatan berkelanjutan dalam semua fungsi dan melibatkan semua karyawan, dari CEO hingga pekerja lini produksi 2 . Ini juga berlaku untuk proses seperti pembelian dan logistik yang melintasi batas organisasi ke rantai pasokan. 3. Hara Hachi Bu (腹八分目): Ini adalah ajaran Konfusianisme yang menginstruksikan orang untuk makan sampai mereka 80 persen kenyang 3 . Frasa Jepangnya berarti “makan sampai Anda delapan bagian (dari sepuluh) kenyang” atau “perut 80 persen penuh

Company Profile Penerbit Kami

  PubHTML5 LightBox Embed Demo

Himpunan Mahasiswa Jurusan Fisika UIN Gelar Pelatihan Jurnalistik

  WARNASULSEL.com  – HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) Fisika UIN Alauddin Makassar mengadakan kegiatan Pelatihan Jurnalistik yang bertema “Membangun Jiwa Penulis dengan Mengembangkan Kemampuan Bermedia Mahasiswa Fisika di Era Digital” di ruang LT Fakultas Sains dan Teknologi, Jumat (14/4/2023). Kegiatan ini dalam rangka untuk menambah wawasan para peserta tentang kepenulisan sastra maupun kepenulisan artikel, berita, dan lainnya. Mengundang pemateri Muh Galang Pratama,  editor in chief   Penerbit Jariah Publishing  dan Astiti Nuryanti, Mahasiswa yang juga pengurus Himpunan Bidang Kaderisasi dan Pengembangan SDM. Selengkapnya baca di sini.

Cara Buat Website Komunitas

Cara Buat Website Komunitas sangat mudah sekali. Anda cukup menyiapkan profil, kontak dan nama website Anda. Lalu hubungi Admin kami. Saya menyarankan untuk buat website komunitas di PT Iqra Aksara Media. Selain layanan maksimal, bisa konsultasi 24 jam, juga punya harga yang relatif terjangkau.  Nah. Apa saja, keuntungan membuat website komunitas/organisasi. Berikut manfaatnya. Website resmi membantu legitimasi komunitas / organisasi  Website resmi meningkatkan kesadaran publik Website sebagai sarana memperkenalkan produk/layanan Website sebagai sarana komunikasi Website sebagai sarana publikasi resmi komunitas / organisasi  Membangun jaringan / partner Nah, itu beberapa manfaat memiliki website. PT Iqra Aksara media, sebuah perusahaan di bidang media dan penerbitan siap mengerjakan website komunitas Anda. Dapatkan diskon khusus 35% hingga akhir tahun 2023 dan diskon 50% hingga 1 November 2023. Segera kunjungi laman ini . Atau hubungi admin via WhatsApp.  

Al Nassr vs Abha : Gol Free Kick Cristiano Ronaldo Antarkan Al Nassr Menang 2-1

Cristiano Ronaldo Pemain Al Nassr (Foto/Instagram/@alnassr_fc) Dalam lanjutan Liga Arab Saudi , Al Nassr mengalahkan Abha dengan tipis 2-1.Ronaldo pun menyumbang gol di laga ini. Minggu, 19 Maret 2023 pukul 00:15 WIB di Marsool Park menjadi tempat duel antara Al Nassr dan Abha. Striker Portugal Cristiano Ronaldo dipercaya menjadi starter Al Nasir kali ini. Lewat formasi 4-1-4-1, ia menjadi andalan dan sumber gol klub. Pada laga ini, Al Nassr mencoba tampil agresif namun pada menit ke-26 tim besutan Abha harus kebobolan terlebih dahulu. Tuan rumah baru bisa memecah kebuntuan di babak kedua dengan sisa waktu kurang dari 20 menit. Pada menit ke-78, pemain bintang Cristiano Ronaldo mencetak gol dari jarak jauh. Berawal dari peluang melakukan tendangan bebas, bola diambil oleh Ronaldo. Cristiano Ronaldo mencetak gol tendangan bebas dan akhirnya mengikat skor menjadi 1-1. Tak lama berselang, tim tamu sial di menit 80. Pasalnya, pemain mereka mendapat kartu merah, yakni Zakaria Alsudani yang

Kantor Jariah Publishing

  Kantor Jariah Publishing, di Jalan Dahlia No.17, Sungguminasa Gowa Alhamdulillah setelah beberapa bulan pembangunan dan lebih dari 2 tahun sejak pondasi awal selesai, kantor Jariah Publishing  pun kini bisa ditempati. Selamat Datang. Ayo kirim naskahmu sekarang juga.

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog