Sumber: Pixabay |
SAYA baru sadar dan sekaligus baru tahu arti passion sebenarnya hanya dengan melihat terjemahannya dari google.
Silakan googling sendiri.
Saya kira passion itu hanya berarti kegemaran yang menyangkut bakat dan hobi.
Melainkan, bukan.
Passion lebih luas dan lebih jelas diartikan sebagai gairah. Semangat. Keinginan besar.
Ia juga bisa berarti kemarahan. Kegemasan. Cinta birahi.
Ya, kamu akan lebih tahu karena kamu sudah googling.
Sa di sini cuma ingin bahas apa yang sejak awal saya pelajari.
Passion sebagai arti bakat atau kegemaran yang berujung pada skill/keterampilan. Ia akan sampai di tahap terampil sebab telah diuji dengan banyaknya latihan dan waktu.
Tadi saya mau menulis kata kuantitas sebagai kata ganti banyaknya latihan. Tapi saya kembali menghapusnya, dan berusaha mencari kata ganti yang lebih mudah dimengerti banyak orang. Lantas, kenapa saya mesti menulis alasan terakhir ini?
awal 2012
Usia saya saat itu 16. Saya baru saja naik di kelas 2 SMA. Saya baru saja membaca satu buku yang saya pinjam di Perpustakaan Daerah kota Mamuju.
Saya baru pertamakali mengurus kartu perpus. Setelah kartunya jadi, saya bingung mau pinjam buku apa.
Ada begitu banyak buku. Ribuan judul dengan sampul depan yang berbeda. Juga berbagai nama penulis, baik nama yang akrab dengan nama orang orang di kampung halaman, sampai nama nama dari benua lain yang untuk menyebutnya saja, saya mesti melihat dengan teliti hurufnya.
Saya akhirnya mengambil satu judul buku.
Megacreativity. Ditulis oleh Andrei G. Aleinikov, Ph.D.
Saya mengambil judul buku ini karena saya tertarik pada kata 'jenius'.
Karena itu pula, blog ini akhirnya hadir.
Saya membawa pulang buku ini. Kemudian membacanya. Duduk di teras saat sore, atau pada pagi hari di waktu libur sekolah.
Saya agak sulit memahami buku itu. Barangkali karena yang menulis punya gelar akademik Ph.D atau gelar Doktor.
Sedangkan saat itu saya masih Anak SMA yang baru saja naik ke kelas XI, belum tahu sama sekali apa itu cinta.
Sekarang, pun masih belum paham. Hehe.
Karena buku ini telah membuat saya bingung, akhirnya saya mencari buku lain yang agak mudah saya cerna.
Buku yang membahas tentang kekuatan batin.
Ya, malah lebih susah!
Saya cari lagi buku lain. Saya cari di toko buku dan di pasar.
Saya akhirnya dapat buku tentang otak kanan, yang juga membahas tentang imajinasi, pun tentang bakat.
Di Mamuju, saat masih SMA menemukan buku bagus itu sulitnya luar biasa. Mau minta buku rekomendasi, sulit juga. Mau minta sama siapa?
Bapak pembaca koran. Ibu ngajar PPKN.
Bapak cuma suruh baca koran tiap hari. Isinya cuma berita. Ibu, sekali waktu pernah bawa pulang novel. Ibu kasih tugas ke siswanya di SMK untuk mengumpulkan tugas, dengan cara membawa satu novel per orang.
Tapi, karena saat itu saya tak suka baca novel (karena gambarnya tidak ada), akhirnya saya tinggalkan.
Saya cari buku yang sedikit ada gambarnya. Atau minimal: ilustrasi.
Karena membaca buku Megacreativity yang isinya tentang jenius jenius, bahas otak, kembali ke buku lain yang berisi tentang otak kanan dan imajinasi, saya terbawa ke satu pokok utama.
Bagaimana cara menemukan bakat.
Saya sudah kelas 2 SMA, tapi tidak tahu mau masuk di jurusan apa saat kuliah. Bingung.
Orang tua maunya kedokteran atau pertambangan. Om yang dokter menyuruh milih kesehatan masyarakat atau dokter gigi. Om yang satunya lagi (karena kerja di kementerian agama wilayah sulbar) memilih masuk IAIN alias UIN.
Pilihan saya sendiri? Tak kesampaian.
Saat itu saya ingin masuk di jurusan psikologi (karena saya senang menebak jiwa dan suasana hati orang orang, cie..) juga ingin masuk di jurusan komputer/IT (karena saat SMA saya mulai suka duduk berjam jam di depan laptop dan mengedit foto dan video). Meski karena keterbatasan ilmu dan kurangnya pengetahuan aplikasi editing saat itu, akhirnya pengetahuan saya hanya itu itu saja. Belajar otodidak pakai AVS Video Editor yang beratnya minta tolong. Sesekali menggunakan movie maker.
Nah, sejak saat itulah saya dilanda kebingungan.
Kelas 3 SMA. Saya makin bingung mencari bakat saya apa. Saya tak mengenali diri saya.
Seharusnya memang, mencari bakat ini diajarkan di sekolah menengah pertama. Seperti di luar negeri. Saya pernah membaca ilustrasi perbandingan pembelajaran siswa mulai TK sampai PT antara dalam negeri dan di luar negeri.
Jika pendidikan kita mengajarkan teori + latihan soal. Teori + latihan soal. Begitu seterusnya, sampai PT (perguruan tinggi).
Jenjang pendidikan SMP di luar negeri sudah diajarkan tentang pengenalan bakat. Lalu lanjut ke eksplorasi. Belajar lingkungan sejak dini, dan lain sebagainya. Makanya jangan heran, kalau kita sering terlambat. Ya, kurikulum pendidikan kita yang memaksa kita belajar apa yang kita tidak senangi.
Jujur saja, jika disuruh kembali ke masa kanak kanak, saya memilih tidak mau. Saya muak dengan sekolah sejak SD sampai PT yang hanya mengajarkan tentang teori lalu diuji dengam soal soal. Sedangkan ada banyak guru yang mengeyampingkan pembelajaran etika lebih bernilai daripada sekadar benar menjawab soal hasil contekan.
Sampai awal masuk kuliah, akhirnya saya tersampar di kampus UIN mempelajari hukum.
Bukan cuma hukum yang sering kita dengar di layar tivi tapi juga tentang hukum Islam.
Nah, di sela sela kuliah, karena terus berupaya menemukan bakat, saya akhirnya mulai sadar saat berada di semester 3. Lanjut ke semester 4.
Saya awalnya mengikut pelatihan menulis berita yang diadakan salah satu jurusan di fakultas dakwah dan komunikasi kampus saya. Saya sangat mengingat yang jadi pemateri saat itu. Pak Moh. Yahya Mustafa. Ternyata beliau selain dosen, juga adalah seorang wartawan.
Akhirnya saya tertarik menulis reportase saat itu. Setelah pelatiham sehari itu, besoknya tulisan reportase saya terbit di koran Cetak Tribun Timur. Ya, meski pun diedit oleh Pak Yahya tadi.
Tapi, senangnya bukan main saat itu. Sampai sampai saya ingin menempel setiap dinding di kampus dengan koran yang berisi nama, tulisan dan foto SMA saya saat itu.
Akhirnya dari situ, kemudian saya berpikir mungkin bakat saya ada di sekitar dunia tulis menulis.
Di tahun berikutnya, bersama teman bernama Saefullah, kami dirikan lembaga
Comments
Post a Comment