SORE di 9 Agustus 2020, seorang guru asal Biringbulu kab. Gowa datang ke Penerbit Jariah Publishing. Ia datang dengan tujuan menjemput buku.
Buku itu milik Nur Ikhsan. Ia sendiri bertindak sebagai editor sekaligus layouter di buku itu. Buku berjudul Masa Lalu Tidak Pernah Bisa Dimiliki, Ia Telah Diadili Tuhan adalah karya siswanya yang sekarang sedang mondok di salah satu pesantren di Pulau Jawa.
Meski berprofesi utama sebagai seorang Guru di sebuah SMA Negeri di salah satu daerah dataran tinggi, tak sedikit pun menyurutkan kreativitasnya.
Di tengah keterdesakan, ia hadir memberi solusi. Di tengah keterbatasan ia datang mengubah pola pikir buat sekelilingnya.
Ia juga seorang penulis. Tiga bukunya dicetak di Jariah Publishing (dua judul dengan penerbit Jariah Publishing dan satu judul dengan penerbit lain yang kini sudah tidak aktif).
Baca juga wawancara saya dengan Syamsul Alam di WARNASULSEL.com
Karena ia menulis, tak sedikit dari siswanya ikut termotivasi untuk menulis. Termasuk menerbitkan buku.
Seperti sumber mata air di tengah pegunungan, hadirnya menjadi pelepas dahaga di antara banyak masyarakat yang haus akan informasi tentang kepenulisan dan penerbitan karya.
Meski saya mengatakan ia adalah seorang guru dan penulis, namun ada satu hal lagi yang menjadi bakatnya: editing.
Editor Video
Jangan salah, coba Anda cek YouTube 'Syamsul Alam' dengan foto profil seorang laki laki berdiri dengan latar pemandangan langit dan yang jumlah subscribers mencapai 5 ribu lebih.
Ia tidak paham kalau menerbitkan buku itu bukanlah proses instan.
Ia hasil memeras otak beberapa bulan bahkan bertahun tahun. Menghabiskan banyak 'uang kopi' dan waktu. Setelah bukunya ditulis, harus melewati fase editing lagi lalu (di banyak kasus) diterbitkan dengan sistem self publishing yang artinya penulis turut membiayai cetakan bukunya.
Nah kalau ada pihak yang minta gratis?
Jangan salah, coba Anda cek YouTube 'Syamsul Alam' dengan foto profil seorang laki laki berdiri dengan latar pemandangan langit dan yang jumlah subscribers mencapai 5 ribu lebih.
Bagi youtuber pemula, angka 5 ribu itu sungguh sangat sulit didapatkan.
"Saya tidak menyangka akan sebanyak itu," katanya kepada saya sore tadi, "Padahal awalnya saya cuma ingin upload saja karya video ke YouTube agar lebih banyak orang yang nonton."
Di salah satu video pendeknya berjudul Sitobo Lalang Lipa (saling menikam di dalam sarung) telah ditonton lebih dari 700 ribu kali.
Meski tak lama lagi ia akan menghapus beberapa video dari akun youtubenya itu. Pasalnya, beberapa film pendek yang telah dibuat mengandung rekaman 'musik' dari beberapa 'komunitas hak musik' yang dilisensikan ke YouTube. Akibat dari ini semua, video dinyatakan masuk ke dalam 'pelanggaran hak cipta'.
Copyright Video
Saya mau cerita sedikit tentang ini.
Awalnya, ia tak tahu sama sekali persoalan itu, saat buat video dan mengunggahnya beberapa tahun lalu.
Saya pribadi menyayangkan ketika Syamsul Alam belum memonetisasi akunnya tapi iklan sudah tayang di dua video dengan jumlah viewers belasan dan ratusan ribu itu. Mungkin, pembayaran atas iklan itu akan masuk ke rekening pihak 'pemegang musik' di atas.
Meski nama band dan artist telah disebutkan di video, namun sepertinya YouTube punya robot tersendiri yang mendeteksi adanya lagu yang sama dengan pemiliknya. Ini akan jadi pelajaran penting.
Akan tetapi, saya sendiri akan jadi salah satu orang yang ikut mempromosikan YouTube Syamsul Alam kedepannya. Meski dengan menghapus beberapa video dari channel-nya yang berakibat pada hilangnya 'jam tayang'.
Tentu orang seperti Syamsul Alam ini yang perlu banyak didukung. Ia bahkan tak punya studio apa pun. Juga tak punya kamera pribadi. Namun kualitas film film pendeknya bisa diacungi jempol.
Salah satu videonya berjudul 'PemilihMudaAyoKe TPS' meraih juara 1 kompetisi video pendek yang diadakan KPU Gowa beberapa tahun lalu. Silakan cek saja channel youtubenya, kalau Anda ingin lebih yakin.
Menghargai Karya Penulis
Selain penerbitan buku, dan pengenalan dengan dunia film pendek, ia sangat semangat mengenalkan bahan bacaan ke siswa siswi di desanya.
Ia bahkan bersedia merogoh kocek demi membeli buku kami Literasi, Hoaks dan sejumlah esai lainnya sore tadi. Ia mengatakan agar buku itu dibaca oleh 'anak anak didiknya' supaya ada referensi lain dalam belajar.
Bagi kami, itu adalah apresiasi terbesar. Betapa banyak orang yang diberi banyak kemampuan, namun kesulitan mengakses bahan bacaan (dalam artian bersedia membeli buku).
Minta Buku Gratisan
"Di kampung, ada juga orang yang ketika baru saja seseorang terbitkan bukunya, dia langsung minta gratisan," ujarnya.
Saya bingung sejenak lalu bilang, oh ya? mungkin itu bukan hanya terjadi di kampung, melainkan di kota besar sekali pun.
"Saya tidak menyangka akan sebanyak itu," katanya kepada saya sore tadi, "Padahal awalnya saya cuma ingin upload saja karya video ke YouTube agar lebih banyak orang yang nonton."
Di salah satu video pendeknya berjudul Sitobo Lalang Lipa (saling menikam di dalam sarung) telah ditonton lebih dari 700 ribu kali.
Meski tak lama lagi ia akan menghapus beberapa video dari akun youtubenya itu. Pasalnya, beberapa film pendek yang telah dibuat mengandung rekaman 'musik' dari beberapa 'komunitas hak musik' yang dilisensikan ke YouTube. Akibat dari ini semua, video dinyatakan masuk ke dalam 'pelanggaran hak cipta'.
Copyright Video
Saya mau cerita sedikit tentang ini.
Awalnya, ia tak tahu sama sekali persoalan itu, saat buat video dan mengunggahnya beberapa tahun lalu.
Saya pribadi menyayangkan ketika Syamsul Alam belum memonetisasi akunnya tapi iklan sudah tayang di dua video dengan jumlah viewers belasan dan ratusan ribu itu. Mungkin, pembayaran atas iklan itu akan masuk ke rekening pihak 'pemegang musik' di atas.
Meski nama band dan artist telah disebutkan di video, namun sepertinya YouTube punya robot tersendiri yang mendeteksi adanya lagu yang sama dengan pemiliknya. Ini akan jadi pelajaran penting.
Akan tetapi, saya sendiri akan jadi salah satu orang yang ikut mempromosikan YouTube Syamsul Alam kedepannya. Meski dengan menghapus beberapa video dari channel-nya yang berakibat pada hilangnya 'jam tayang'.
Tentu orang seperti Syamsul Alam ini yang perlu banyak didukung. Ia bahkan tak punya studio apa pun. Juga tak punya kamera pribadi. Namun kualitas film film pendeknya bisa diacungi jempol.
Salah satu videonya berjudul 'PemilihMudaAyoKe TPS' meraih juara 1 kompetisi video pendek yang diadakan KPU Gowa beberapa tahun lalu. Silakan cek saja channel youtubenya, kalau Anda ingin lebih yakin.
Menghargai Karya Penulis
Selain penerbitan buku, dan pengenalan dengan dunia film pendek, ia sangat semangat mengenalkan bahan bacaan ke siswa siswi di desanya.
Ia bahkan bersedia merogoh kocek demi membeli buku kami Literasi, Hoaks dan sejumlah esai lainnya sore tadi. Ia mengatakan agar buku itu dibaca oleh 'anak anak didiknya' supaya ada referensi lain dalam belajar.
Bagi kami, itu adalah apresiasi terbesar. Betapa banyak orang yang diberi banyak kemampuan, namun kesulitan mengakses bahan bacaan (dalam artian bersedia membeli buku).
Minta Buku Gratisan
"Di kampung, ada juga orang yang ketika baru saja seseorang terbitkan bukunya, dia langsung minta gratisan," ujarnya.
Saya bingung sejenak lalu bilang, oh ya? mungkin itu bukan hanya terjadi di kampung, melainkan di kota besar sekali pun.
Pemahaman itu muncul, barangkali tidak didasari karena tinggi rendahnya pendidikan di bangku sekolah. Melainkan tidak pahamnya mereka pada proses menulis dan menerbitkan buku.
Ia tidak paham kalau menerbitkan buku itu bukanlah proses instan.
Ia hasil memeras otak beberapa bulan bahkan bertahun tahun. Menghabiskan banyak 'uang kopi' dan waktu. Setelah bukunya ditulis, harus melewati fase editing lagi lalu (di banyak kasus) diterbitkan dengan sistem self publishing yang artinya penulis turut membiayai cetakan bukunya.
Nah kalau ada pihak yang minta gratis?
Sungguh ia menyepelekan hasil keringat penulis. Bukan hanya ia tidak menghargai jerih payah penulis berbulan bulan bahkan bertahun tahun melainkan ia mematikan semangat penulis. Saya ulangi lagi: mematikan semangat penulis.
Meski, ada beberapa penulis yang dengan senang hati memberi bukunya setelah diterbitkan, akan tetapi jumlahnya tidak banyak.
Barangkali ini memang persoalan pemahaman. Orang orang terutama karena ia bukan penulis/tak pernah menulis, perlu diberikan pemahaman.
Tapi saya yakin, ada rasa 'tidak enak' ketika si penulis langsung yang bicara ke golongan peminta buku gratisan itu, agar bukunya dibeli, bukan sekadar diminta gratis.
Terakhir, karena catatan ini saya rasa agak keluar konteks, bagaimana kalau kita apresiasi ke orang yang namanya saya tulis di atas? Dengan cara apa? Terserah Anda saja. Yang jelas jangan minta buku dengan gratis. #eh
Meski, ada beberapa penulis yang dengan senang hati memberi bukunya setelah diterbitkan, akan tetapi jumlahnya tidak banyak.
Barangkali ini memang persoalan pemahaman. Orang orang terutama karena ia bukan penulis/tak pernah menulis, perlu diberikan pemahaman.
Tapi saya yakin, ada rasa 'tidak enak' ketika si penulis langsung yang bicara ke golongan peminta buku gratisan itu, agar bukunya dibeli, bukan sekadar diminta gratis.
Terakhir, karena catatan ini saya rasa agak keluar konteks, bagaimana kalau kita apresiasi ke orang yang namanya saya tulis di atas? Dengan cara apa? Terserah Anda saja. Yang jelas jangan minta buku dengan gratis. #eh
Ya, iyalah!
Syamsul Alam (kiri) dan saya sendiri (Gowa, 9/8/2020) |
Comments
Post a Comment