WAKTU SMA, agak sulit mendapat koran di Mamuju, Sulbar. Tapi pas masuk di Gowa dan resmi jadi maba, baru bisa ke gerai koran, duduk duduk. ya, awalnya cuma duduk duduk sambil makan kue (kebetulan penjual koran ini dulu selain jual koran, ikan bitte, juga menjual kue kue seperti jalangkote, pawa, cantik manis, dll) tapi lama kelamaan, sedikit melirik ke halaman pertama sebuah koran yang sengaja dipajang (ada yang buat dijual, ada yang bisa dibaca)
Seringkali, kalau ada kuliah jam 11, pasti datang terlambat, karena buru buru pulang dari gerai ini, ke rumah buat mandi, lalu ke kampus.
Paling sering, kalau hari libur, seperti hari minggu. betah berlama lama di gerai koran, membaca beberapa koran yang ada. terutama membaca halaman sastra/budaya. tak jarang meski ongkos baca koran hanya dua ribu rupiah, harus merogoh kocek lagi buat membawa pulang ke rumah koran yang disukai.
Koran Kompas
Tak seperti kebanyakan koran nasional, barangkali hanya koran Kompas yang sering ditemui di gerai koran yang terletak di beberapa daerah. Setidaknya sampai hari ini.
Merasa sangat bangga, pada satu waktu koran ini memuat foto dan tulisan singkat meski di kolom argumentasi rubrik Kompas Muda.
Menulis di rubrik Kompas muda saja, sudah mesti berjuang ngirim tulisan setiap pekan, selama tujuh kali berturut turut, baru bisa dimuat. Hadiahnya berupa buku catatan masih tersimpan hingga kini, dan kaos bertuliskan 'Kompas Muda' diambil sama ibu di Mamuju.
Perasaan saat membaca koran Kompas begitu enak. ada banyak info yang disajikan. bahkan, sulit atau mustahil mendapat kesalahan tik pada media cetak ini. Rubriknya kompleks dan isinya bergizi.
Enak sekali rasanya membaca halaman opini dan tajuk juga kolom advertorial, meski memang tulisan di rubrik opini dan tajuk/kolom agak sedikit berat-tak jarang membuat kepala pening, sehingga harus dibaca ulang dan mencari arti dari istilah yang tampak asing.
Di koran ini, sering juga baca berita kak Raani Ayuu yang melaporkan beberapa peristiwa dari Sulawesi.
Tapi..
Saat hampir tiap pekan selama beberapa tahun datang ke gerai koran, sebelum membuka halaman demi halaman, mata selalu tertuju pada nama di sudut kiri atas koran Kompas. Di situ ada nama P.K. Ojong dan Jakob Oetama.
Nama itu selalu terngiang di kepala. Beliau pendiri Kompas, begitu tertulis. Dan Pak Jakob Oetama yang lahir pada 27 September 1931 kini telah wafat pada 9 September 2020.
Meski tak mengenal lebih dekat, juga belum pernah ketemu, tapi berkat beliau dan para karyawan serta jurnalis, editor di media Kompas sedikit banyak memberi pengetahuan yang membentuk pribadiku.
Membaca media daring (online) ataupun e paper memang baik dan murah, tapi membaca media cetak (koran cetak) jauh lebih baik.
Pengetahuan bisa tersimpan lebih lama, dan kenangan serta suasana membaca koran mampu terekam lebih baik di memori otak.
Sebab karena itulah, tulisan singkat ini hadir.
Sumber: Facebook
waktu SMA, agak sulit mendapat koran di Mamuju, Sulbar. tapi pas masuk di Gowa dan resmi jadi maba, baru bisa ke gerai...
Dikirim oleh Galang Pratama Muhammad pada Rabu, 09 September 2020
Comments
Post a Comment