Asal Mula Karakter Kepemimpinan dan Sumber Masalahnya
Oleh : Muh. Galang Pratama
Dunia terus berputar, tahun demi tahun silih berganti. Kita sebagai manusia, terus menapaki roda kehidupan demi mencari esensi dari ke-hidup-an itu sendiri. Kembali kita merefleksikan awal mula kemerdekaan suatu Negara atau awal mula pemerintahan mulai dibangun dari suasana sebelumnya yang begitu mencekam dan jauh dari cahaya kemaslahatan dan kedamaian.
Pada saat-saat seperti itu, suatu negara ataupun yang masih dalam bentuk kelompok-kelompok, sangat membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menengahi segala tindak-tanduk masalah yang terjadi. Disinilah pentingnya seorang ketua atau kita bahasakan sebagai seorang pemimpin. Bahkan Nabi Muhammad SAW, pernah berkata, "Apabila ada 3 orang sedang berpergian (musafir) maka hendaklah kamu mengangkat salah seorang imam (pemimpin) diantara kalian.”(HR. Abu Daud). Pada hadis yang lain Rasulullah bersabda yang artinya: Abdullah bin Amr ra, mengabarkan, Muhammad Rasulullah SAW bersabda, “Tidak hahal bagi tiga orang yang berada dalam suatu perjalanan di bumi ini, melainkan mereka harus mengangkat seseorang diantara mereka itu sebagai kepala atau pemimpin.” (HR. Ahmad)
Begitu penting seorang pemimpin itu, sehingga dalam Al-Qur’an pun telah tertulis dalam firman-Nya, hormatilah (taaatilah) ulil amri (pemimpin) diantara kalian. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.." (QS. An-Nisa: 59). Pemimpinlah yang menjalankan kepemimpinan dalam suatu lembaga, institusi, ataupun organisasi. Pemimpin dan kepemimpinan sangat erat kaitannya namun berbeda makna satu sama lain.
Pemimpin adalah subjek, yakni ia bisa dalam bentuk makhluk yang mempunyai tugas untuk mengatur roda kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan itu sendiri adalah cara atau jalan dalam memimpin, bagaimana eksistensi seorang pemimpin, dilihat dari "gaya" kepemimpinannya.
Selanjutnya, penulis akan menjabarkan menurut persepsi yang penulis "baca" dalam suasana sekarang ini mengenai pemimpin dan kepemimpinan di dunia pada umumnya dan di negaranya, Indonesia, pada khususnya.
Kita semua tentu dapat membaca apa makna yang tersurat kecuali bagi orang yang buta (indra mata), namun tidak semua dari kita dapat membaca apa makna dari yang tersirat kecuali orang buta . Maksudnya ialah, banyak dari kita yang normal, tentu dapat membaca segala huruf-kata-kalimat-paragraf yang tersusun rapi sehingga membentuk makna yang dinamis, itulah makna dari membaca yang tersurat.
Namun, apakah kita sebagai makhluk yang normal (tidak cacat/tidak buta) mampu membaca makna dari yang tersirat, yang mana tulisan itu tidaklah berbentuk (kongkrit) seperti susunan huruf, kata dan seterusnya, sehingga bisa dikatakan maknanya abstrak. Hanya orang-orang atau makhluk tertentulah yang dapat membacanya. Sehingga kita bisa menyebutnya dengan "membaca" ayat-ayat Tuhan di Alam yang Ia ciptakan ini.
Akan tetapi, jangan sampai kita mendeskripsikan bahwa hanya orang yang normal indra penglihatannya (mata) yang mampu membaca ayat yang tersirat tersebut, namun mereka yang tidak normal (indra penglihatannya, buta) pun juga mampu melihat serta membaca sebuah tulisan yang abstrak. Nah bagaimana ia dapat melakukannya, tentu kita harus mengetahui apa makna dari penglihatan itu. Jangan sampai kita hanya terfokus pada alat indra yang bernama "mata", sehingga hanya mata yang dapat melihat. Sesungguhnya itu salah. Karena banyak orang yang memiliki mata namun ia buta dan banyak pula dari saudara-saudara kita yang buta namun penglihatannya lebih baik dan tajam dibanding orang yang meihat secara indrawi.
Ada satu hal sebagai kunci dari ini, yakni sesungguhnya yang melihat bukanlah mata, tetapi Hati. Nah, Hati inilah yang terdapat dalam diri setiap insan, ia dapat terbuka dan tertutup, ia dapat bersih dan kotor, tergantung pada orang yang memilikinya. Sedangkan bagaimana dengan mata, sesungguhnya dua mata yang diberikan kepada kita sebagai makhluk yang normal, itu hanyalah sebagai alat pemantul cahaya (nur) yang mana asal-muasalnya dari Hati itu. Sehingga yang melihat adalah Hati, dan Hati disini bisa disebut Qalbu.
Kembali kepada masalah kepemimpinan. Pemimpin merupakan amanah dan tanggung jawab yang besar sekali. Seseorang yang diberikan amanah inilah yang mesti memikul beratnya sebuah permasalahan dan selain dari itu ia mesti mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah diperbuat dalam suasana dan kondisi serta waktu dan tempat ketika ia jadi pemimpin.
Begitu beratnya amanah pemimpin itu, bahkan pemimpin umat Islam, Rasulullah Muhammad SAW dalam hadisnya disebutkan betapa berat amanah yang dibawa oleh seorang pemimpin sehingga dari padanya seorang pemimpin bisa terjerumus masuk ke Surga dan bahkan bisa juga masuk ke Neraka.
Salah seorang sahabat Nabi, Umar Bin Khattab yang pada saat dirinya diangkat sebagai khalifah, ia kemudian mengucapkan "Innalillahi wainna ilaihi roji'un". Seakan-akan makna pemimpin itu adalah sebuah musibah yang diraih oleh seseorang yang diberikan amanah.
Serta salah satu Khalifah atau ulil amri umat Islam pada masa Bani Umayyah yang terkenal sukses dalam kepemimpinannya, yang mana ia dikenal adil kepada umatnya sehingga ia dapat dikenang sampai saat ini sebagai seorang pemimpin yang paling adil di masanya, ialah Umar Bin Abdul Aziz.
Umar Bin Abdul Aziz pernah berkata, bahwa jika kita menjadi seorang pemimpin, maka kita mesti siap di yaumul akhir nanti bahwa ada orang dengannya kita mendapatkan pahala dan ada pula orang yang dalam kepemimpinan kita orang tersebut merasa terdzalimi, hak-haknya dirampas sehingga ia pun pernah berdo'a sehingga do'anya terijabah. Dan kita sebagai orang yang memimpin, yang mendapatkan imbasnya, yakni dosa.
Melihat fakta di Negeri kita, Indonesia, hampir semua orang menginginkan jabatan sebagai pemimpin. Dan ia tidak mengetahui bahwa pemimpin itu adalah musibah. Banyak orang-orang yang sebenarnya tidak pantas sebagai pemimpin, namun ia sendiri yang sangat berapi-api untuk menjadi pemimpin, entah karena kepentingan apa yang ingin diraihnya ketika sudah memimpin.
Bahkan dalam hadis dikatakan, barangsiapa yang meminta sebuah jabatan, maka ketika ia diberi jabatan itu, maka Allah tidak akan membantunyan dalam menghadapi segala tindak-tanduk masalah dalam kepemimpinannya. Namun, ketika seseorang yang diberikan amanah untuk memimpin namun ia tidak meminta jabatan itu, maka Allah bersamanya dan akan membantunya dalam kepemimpinannya. KIra-kira seperti itu penjabaran mengenai hadits tentang meminta jabatan.
Kepentingan yang jahat dan egoisme yang tinggi serta sikap rakus yang kadang menjadi faktor terbesar seseorang ingin menjadi pemimpin dalam mengambil alih roda kepemimpinan. Karena ia hanya melihat hal yang berbau materi didalamnya, tanpa mau berkorban dan mempunyai sikap melayani kepada umat yang dipimpinnya. Maka orang seperti ini akan mendapatkan banyak celaan, do'a dari orang-orang yang di dzalimi nya. Walaupun orang yang di dzalimi tidak melihat perbuatan pemimpinnya, namun ketika ia berdo'a, maka ia pun telah memberikan kuasanya kepada Allah.
Sehingga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala kesempurnaanya jauh sekali diatas makhluk ciptaannya, ia pun mempunya kuasa. Ia dzat yang maha melihat dan maha mengetahui, memiliki kuasa diseluruh tempat yang tak dapat terdefinisikan, bahkan Nabi SAW pernah berkata bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher kita. Maka siap-siaplah kepada seorang pemimpin yang merasa tidak menjalankan amanah itu dengan baik sesuai keinginan orang yang dipimpinnya, tidak sesuai dengan kemaslahatan, maka ia akan menerima murka.
Hal yang terjadi pada kaum tua saat ini (generasi 40-80-an; seseorang yang lahir pada tahun antara 1940-1980), tidak pantas ditiru gaya kepemimpinannya. Karena sudah sangat tidak sesuai dengan jaman, ketika kita yang lahir pada tahun antara 1990-1999 untuk mengarungi kehidupan kita dalam usia 20 tahun sampai 60-an tahun masa hidup ketika mulai lahir di dunia.
Maka begitu penting kita untuk membuat generasi baru, sikap dan budaya yang baru sehingga lingkungan kita bisa lebih baik dari lingkungan saat kita hidup saat tahun ini (2014-2015 Masehi), menjadi lingkungan yang sempurna damai dan sehat di 10-30 tahun yang akan datang (2025-2045 Masehi).
Ada teladan yang pantas kita tiru, yakni bagaimana kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, bagaimana kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz pada masa Bani Umayyah. Itulah semua teladan kita. Sehingga kita dapat hidup dalam harmonisasi yang tentram, damai dalam satu kerinduan batin yakni Al-Islam. Islam sebagai Rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam.
Untuk bahasan saat ini, maka segala perilaku buruk yang diajarkan oleh kaum tua kita yang tidak sesuai dengan ajaran pemimpin teladan kita yang telah kita sebutkan diatas, ialah bagaimana kita menciptakan sebuah lingkungan yang baik dan kita semua menyetujuinya dalam pengaplikasian dalam kehidupan kita saat ini, karena jika tidak, amak harapakn kita dimasa depan akan sirna bahkan hanya akan meninggalkan catatan kusam yang penuh dengan debu.
Dari perbuatan yang akan kita ubah, akan menghasilkan suatu kebiasaan, sehingga dari kebiasaan akan terbentuk karakter dan karakter adalah sikap kita yang telah terpatri dalam diri kita. Tentu ini dapat kita lakukan mulai saat ini, jika memang kita berani. Saya penulis, kalian sebagai pembaca, yang berada disekitar kami akan mendukung ini semua, untuk menciptakan lingkungan yang baik. Sehingga dari orang-orang kecil terbentuk komunitas kecil, kemudian terbentuk negara kecil dan pada akhirnya dunia kecilpun akan terbentuk.
Yang mana manusia dan makhluk didalamnya hidup rukun, damai, sejahtera, penuh dengan keamanan akan benar-benar tercipta. Bukankah itu adalah keinginan kita semua ? Maka marilah kita bersama-sama membangunnya mulai saat ini, ke ikutsertaan kita pada jalan yang baik.
Banyak kebiasaan yang mesti kita ubah, dan kebiasaan itu akan mudah kita ubah ketika paradigma atau mindset atau pandangan kita sudah searah ke jalan yang baik. Mulai dari kebiasaan terkecil hingga samapi pada kebiasaan besar yang sudah berbudaya.
Kita bisa menghilangkan kebiasaan yang jorok seperti 'MENYONTEK' pada saat ujian. Satu kebiasaan yang mana masih banyak orang masih terperangkap dalam perilaku jorok ini, ketika seorang generasi muda saat ini yang berstatus sebagi pelajar, masih melakukan kebiasaan ini, yang mana ini adalah kebiasaan buruk yang ditinggalkan oleh kaum tua saat ini ketika ia masih muda dulu. Maka ketika kita saat ini yang masih muda yang menginginkan masa depan kita baik dan tidak bobrok seperti saat ini, maka mulailah dari membangun kepercayaan diri melalui susana ujian/ulangan.
Tidak ada yang menyontek. Menyontek dapat penulis defenisikan sebagai sikap memberitahu jawaban ataupun petunjuk (clue) kepada orang lain (teman disekitar saat berlangsung ujian) dan melihat/mencari/menerima jawaban dalam bentuk apapun (baik melalui pekerjaan teman/melalui kertas dan yang dapat menjadi alat dalam menemukan suatu jawaban), yang mana keseluruhannya berada diluar diri manusia yang sementara melaksanakan ujian.
Karena ujian itu adalah berupa tes untuk setiap person/pribadi. makanya tidaka ada yang boleh kerjasama (memberitahu/menerima jawaban), yang mana semuanya berada diluar akal dan hati setiap person. Sehingga ujian itu harus sendiri-sendiri (one-by-one), tidak ada hubungan antara orang yang satu dan orang yang lain, tidak ada yang saling kenal-mengenal dalam satu ruangan ujian. Sehingga hanya tinggallah diri manusia (jasad dan jiwa) beserta pulpen dan kertas ulangan. Hanya itu saja. Semua jawaban yang ditulis harus benar keluar langsung dari akal dan hati dari yang melaksanakan ujian.
Itulah kira-kira penjabaran dari kebiasaan menyontek yang saat ini masih terdapat dalam diri seorang pemuda yang hidup di kurun waktu tahun 1990-1999 M. Seharusnya kita malu, jika usia kita (Tahun 2015) saat ini yang berada diantara usia 16-25 tahun, namun kita masih menyimpan budaya bobrok dan kotor ini, yakni budaya menyontek. Bukankah itu adalah awal dari KORUPSI dan menyontek pula merupakan awal dari Kehancuran pribadi kita sebagai seseorang yang akan diberikan amanah menjadi seorang pemimpin dimasa depan.
Karena siapa lagi yang akan memimpin ini semua ketia kaum tua telah wafat atau pun telah tua renta. Ya.. Tentu kita yang akan mengambil alih kepemimpinan, baik di pemerintahan, institusi, lembaga ataupun organisasi.
Terakhir, sebagai penutup. Janganlah kita saat ini terus bersikap menggebu-gebu (menginkan sesuatu secara berlebihan), sehingga malah melupakan hal yang lebih wajib untuk dikerjakan. Janganlah kita selalu menganggap bahwa menjadi seorang pemimpin adalah hal yang mudah dan itu pantas diberikan kepada kita, namun kita mesti mempersepsikan bahwa pemimpin ialah orang yang terbaik diantara kita, orang yang benar pantas untuk mengemban amanah yang besar itu. Maka ketika ada yang lebih pantas menjadi seorang pemimpin, maka ketika ia diberikan amanah oleh orang lain, maka terimahlah tanpa memintanya, karena akan ada Allah SWT. yang akan ikut serta pada seorang pemimpin yang amanah dan adil sert dapat dipercaya.
Dan akan ada Syaitan-Syaitan yang besembunyi di ketiak dan kuku-kuku pada orang yang meminta jabatan sebagai pemimpin dan ia sangat menggebu-gebu untuk menjadi seorang pemimpin, sehingga amanah tidak dijalankan dengan baik, banyak yang ter-dzalimi, berbuat tidak adil, tidak melaksanakan menurut programnya, serta mengahbiskan uang/dana kepada jalan yang hanya mengenyangkan perut dan memuaskan nafsu jelek, sehingga pantas untuk ia bisa masuk bersama dengan Syaitan ke Neraka, sebelum ia bertobat atas kesalahan yang ia perbuat dan ia mulai untuk mau membangun lingkungan yang bersih, indah dan sehat. Semoga!
*Masih dalam proses editan posting
Comments
Post a Comment