Alhamdulillah, sebuah perguliran perantara merambah pada hati kecilku dalam sebuah pola sikap yang membentuk gerak dimensi di raga ini. Memberikan aktualisasi jiwa yang mengubah kebiasaan terdahulu menjadi sebuah kebiasaan yang mengkristalkan perasaan semangat, dan cinta kerja sehingga cita dapat segera terlaksana dengan kuasa sang ilahi.
Ini bukan hari biasa. Sebuah masa yang baru kuukir dalam sehari saja, biasanya hanya ada sajak puisi atau syair bergulir panjang hingga tiga hari. Sedangkan ini, hanya lebih kurang 24 jam saja.
Tepat hari selasa, pukul 12.00 wita, disebuah gedung besar bernama auditorium. Aku berdiri mengepakkan sayap, mencoba menganulir makna atas apa yang ku dengar; sebuah pembicaraan politik yang terkesan kotor dan keji namun unik dan menarik untuk dikaji. Ketika ratusan manusia sesaat menanti tamu yang ditunggu-tunggu, akan tetapi tak kunjung menampakkan jemarinya walau hanya sesaat. Ya, dia di undang untuk menghadiri suatu diskusi publik yang membahas mengenai korupsi.
Korupsi adalah hal yang sangat riskan untuk dibahas pada masa ini. Karena begitu banyak orang yang telah tergerogoti atas penyakit ini, bahkan mereka yang sedang ikut membasmi penyakit ini malah mereka pula yang jadi korban. Mereka ditangkap!
Dalam diskusi itu, hadirlah perwakilan sang guru besar dari kampus ku yang terkesan memiliki paradigma kritis dan radikal. Namanya Prof. Qasim Mathar. Ia menyampaikan gagasan melalui tulisan-tulisan yang ia baca di hape miliknya. Ternyata ia telah menyiapkan lebih dahulu sebelum ia berkata. Ia menulis lalu bersua dan teriak. Itulah cirinya.
Hadir pula seorang aktivis 98, mantan anggota DPR. Namanya bang Aswin. Gayanya oke dan mantap. Pakai baju kaos hitam, kalung panjang dileher dan tak lupa ada batu akik di jemari tengah tangan kanan dan kirinya. Ia banyak membongkar rahasia para anggota dewan yang saat ini tengah duduk manis di kursi empuk dewan. Katanya, “mereka telah korupsi berjamaah, dan sudah menjadi budaya mereka.” Ia juga mengomentari sistem partai yang ada di dewan saat ini. “ada banyak partai disana (di DPR) dan banyak yang membuat partai palsu,” terangnya, Selasa (26/5).
Ketika sesi sang pemateri berbicara telah usai, maka sang moderator yang juga dosen dari UIN, Ahkam Jayadi, memberikan kesempatan kepada para peserta seminar untuk bertanya. “Ya, siapa yang mau bertanya, angkat tangannnya,” ujarnya. Ia kemudian menunjuk beberapa mahasiswa dan dosen yang telah mengangkat tangannya lebih dahulu. Ada 5 orang yang terpilih untuk memberikan aspirasinya dalam bentuk pertanyaan, salah satunya ialah saya.
Setelah peserta yang lain bertanya, kemudian kesempatanku sudah tiba, saya akan membacakan pertanyaan yang sebenarnya baru saya pikirkan ketika saya baru mengangkat tangan. Namun, sebelum saya menanyakan ihwal yang mengganjal dalam jiwaku, maka terlebih dahulu kubacakan puisiku yang saat itu baru aku buat. Bahkan puisi yang telah kucorat-coret pada buku kecilku itu belum rampung ku selesaikan. Namun, apa boleh buat, tiba masa tiba saya harus membacakan puisi itu. Lalu kubaca puisi itu:
*dalam kurung, itu baru dibuat, 30/5
***
Ketika usai kubaca puisi itu, lalu kulanjutkan pertanyaanku,
“apakah mereka yang duduk disana (di dewan) dan orang yang duduk disini, mendengar tentang yang kita diskusikan disini, yakni tentang korupsi ?”
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh sang guru besar, Prof. Qasim Mathar dengan mengatakan, “Ya, pertanyaan untuk rambu*, : ya, mereka mendengar tapi tidak dilakukan,” jawabnya dengan singkat.
*Rambu: Prof. Qasim Mathar menyebut namaku dengan kata, ‘rambu’ karena ia mendengar ketika sang moderator menyanyikan sebuah lagu dari Iwan Fals ketika aku telah selesai bertanya dan menyebutkan namaku. Sang moderator seketika menyanyi, “galang rambu anarki,..” sehingga yang ku tangkap, sang guru besar itu mendengar nyanyian dari pak Ahkam, dan mengira namaku ialah “Rambu.”
Hahhha. Rambu.. rambu, kini namaku telah diubah olehnya. ^_^ *Maaf Guruku!
***
Selasa, 26 Mei 2015
Ini bukan hari biasa. Sebuah masa yang baru kuukir dalam sehari saja, biasanya hanya ada sajak puisi atau syair bergulir panjang hingga tiga hari. Sedangkan ini, hanya lebih kurang 24 jam saja.
Tepat hari selasa, pukul 12.00 wita, disebuah gedung besar bernama auditorium. Aku berdiri mengepakkan sayap, mencoba menganulir makna atas apa yang ku dengar; sebuah pembicaraan politik yang terkesan kotor dan keji namun unik dan menarik untuk dikaji. Ketika ratusan manusia sesaat menanti tamu yang ditunggu-tunggu, akan tetapi tak kunjung menampakkan jemarinya walau hanya sesaat. Ya, dia di undang untuk menghadiri suatu diskusi publik yang membahas mengenai korupsi.
Korupsi adalah hal yang sangat riskan untuk dibahas pada masa ini. Karena begitu banyak orang yang telah tergerogoti atas penyakit ini, bahkan mereka yang sedang ikut membasmi penyakit ini malah mereka pula yang jadi korban. Mereka ditangkap!
Dalam diskusi itu, hadirlah perwakilan sang guru besar dari kampus ku yang terkesan memiliki paradigma kritis dan radikal. Namanya Prof. Qasim Mathar. Ia menyampaikan gagasan melalui tulisan-tulisan yang ia baca di hape miliknya. Ternyata ia telah menyiapkan lebih dahulu sebelum ia berkata. Ia menulis lalu bersua dan teriak. Itulah cirinya.
Hadir pula seorang aktivis 98, mantan anggota DPR. Namanya bang Aswin. Gayanya oke dan mantap. Pakai baju kaos hitam, kalung panjang dileher dan tak lupa ada batu akik di jemari tengah tangan kanan dan kirinya. Ia banyak membongkar rahasia para anggota dewan yang saat ini tengah duduk manis di kursi empuk dewan. Katanya, “mereka telah korupsi berjamaah, dan sudah menjadi budaya mereka.” Ia juga mengomentari sistem partai yang ada di dewan saat ini. “ada banyak partai disana (di DPR) dan banyak yang membuat partai palsu,” terangnya, Selasa (26/5).
Ketika sesi sang pemateri berbicara telah usai, maka sang moderator yang juga dosen dari UIN, Ahkam Jayadi, memberikan kesempatan kepada para peserta seminar untuk bertanya. “Ya, siapa yang mau bertanya, angkat tangannnya,” ujarnya. Ia kemudian menunjuk beberapa mahasiswa dan dosen yang telah mengangkat tangannya lebih dahulu. Ada 5 orang yang terpilih untuk memberikan aspirasinya dalam bentuk pertanyaan, salah satunya ialah saya.
Setelah peserta yang lain bertanya, kemudian kesempatanku sudah tiba, saya akan membacakan pertanyaan yang sebenarnya baru saya pikirkan ketika saya baru mengangkat tangan. Namun, sebelum saya menanyakan ihwal yang mengganjal dalam jiwaku, maka terlebih dahulu kubacakan puisiku yang saat itu baru aku buat. Bahkan puisi yang telah kucorat-coret pada buku kecilku itu belum rampung ku selesaikan. Namun, apa boleh buat, tiba masa tiba saya harus membacakan puisi itu. Lalu kubaca puisi itu:
SUARA LATAH MAHASISWA
Tatapan mata para senator akademika
Menganulir rasa peka
Dalam dada
Pada sebuah pola stigma budaya
Yang telah mengkristal dan membata
Ini bukan soal korupsi belaka
Atau oligarki hukum tak berkaca
Hilangnya kepercayaan pada pemimpin bangsa
Menjadikan nusantara akan hilang ditelan masa
Kami Mahasiswa
Berteriak santun penuh asa
(Terus) Berharap agar Indonesia
Dapat berjaya di dunia
(Dengan kekuatan) dari para Pemuda
(Yang esa paradigma
Esa asa
Esa cita-cita
Menolong negara
Yang sedang ditimpa sakit jiwa
Malang, sejak kehilangan ayah bangsanya* )
*dalam kurung, itu baru dibuat, 30/5
***
Ketika usai kubaca puisi itu, lalu kulanjutkan pertanyaanku,
“apakah mereka yang duduk disana (di dewan) dan orang yang duduk disini, mendengar tentang yang kita diskusikan disini, yakni tentang korupsi ?”
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh sang guru besar, Prof. Qasim Mathar dengan mengatakan, “Ya, pertanyaan untuk rambu*, : ya, mereka mendengar tapi tidak dilakukan,” jawabnya dengan singkat.
*Rambu: Prof. Qasim Mathar menyebut namaku dengan kata, ‘rambu’ karena ia mendengar ketika sang moderator menyanyikan sebuah lagu dari Iwan Fals ketika aku telah selesai bertanya dan menyebutkan namaku. Sang moderator seketika menyanyi, “galang rambu anarki,..” sehingga yang ku tangkap, sang guru besar itu mendengar nyanyian dari pak Ahkam, dan mengira namaku ialah “Rambu.”
Hahhha. Rambu.. rambu, kini namaku telah diubah olehnya. ^_^ *Maaf Guruku!
***
Selasa, 26 Mei 2015
Comments
Post a Comment