TANPA sengaja, orang tuanya telah mencabut nyawa anaknya sendiri. Awalnya ia mencabut harapannya, lalu terhapuslah semua cita cita anak itu. Termasuk cita cita orang tuanya yang seandainya itu tidak terjadi, orang tuanya mungkin akan bangga melihat anaknya tumbuh dewasa dengan toga terletak di kepala sang anak.
Musdalifah, nama anak itu. Kelas XII IPS 1, lulus di SMAN x tahun 2016. meninggal bulan Mei di tahun yang sama.
***
Aku mendengar cerita ini dari adikku. Ketika aku sudah berada di kampung itu, akhir ramdahan 2016 silam. Adikku, punya teman yang seletting (se-angkatan dengannya) di SMA. Adikku tahu persis siapa pemilik nama Musdalifah itu. Adikku sangat aktif di Osis. Dia pernah mengetuai organisasi itu selama satu periode. Sedangkan Musdalifah adalah salah satu anggotanya dari sekitar 50-an anggota Osis saat ia menjabat. Ia kini bercerita di depanku, dan di depan Ayahku. Saat kabar dari salah seorang temannya bernama Musdalifah wafat karena meminum racun rumput. Alasannya jelas sudah beredar ke telinganya. Karena cerita itu ia dapatkan dari teman dekat Musdalifah melalui diskusi di henpon pintarnya: Musdalifah bunuh diri karena dilarang berkuliah di Makassar oleh orang tuanya.
Kasus seperti ini, mungkin bukan yang pertama di kampung x. Kasus seorang siswa yang tamat SMA, tamat juga riwayatnya karena tak mendapat izin dari orangtuanya untuk meninggalkan kampungnya. Bahkan saya juga pernah mendapat larangan, untuk berkuliah jauh jauh pada tahun 2013 silam. Ya, jelas, orangtuaku ingin agar aku berkuliah di kampung itu, di kampus Poltekkes, atau kampus negeri baru di provinsi itu yang masih sering cekcok dengan yayasan pada saat itu. Sudah jelas lagi, orangtuaku tak ingin jauh dari anak anaknya. Bahkan niatku untuk mendaftar kuliah di Jawa saat itu (ITB atau UGM) harus pupus di tangan orangtuaku.
Ya, memang, banyak orangtua yang mendukung anaknya dalam hal pendidikan, tapi mengenai tempat kuliah, orang tua harus turun tangan menentukan. Bagi kebanyakan teman teman se-angkatanku saat itu di SMAku, hanya sedikit saja yang diiznkan kuliah di Jawa. Ada beberapa hanya di Makassar dan selebihnya, selain karena tidak lulus di Makassar, juga karena tak mendapat izin dari orangtuanya makanya ia hanya bisa kuliah di kampus swasta di kampung itu. Saat ini mereka banyak tersebar di kampus STIE dan Poltekkes Kemenkes di sana. Ada beberapa di Universitas di sana, serta sebagian lain di beberapa Stikes. Sebagian kecil, menganggur atau kerja sampingan.
Entah, atas dasar apa orangtua melarang anaknya untuk berkuliah di luar kampung itu. Sedang banyak dari alumni SMA itu punya motivasi besar untuk berkuliah sejauh jauhnya. Semakin jauh, semakin sukses, kata salah seorang guru di sekolah itu ketika aku hampir lulus di sma itu. Saya masih ingat guruku yang motivasinya besar sekali kepada murid muridnya, agar kami, sebagai murid, saat itu bisa berkuliah di mana saja, yang [penting bukan di kampung itu. Katanya, berkuliah lah sejauh jauhnya. Jangan tinggal di sini (ia menunjuk tanah x). Dan jika sudah selesai, kembalilah di sini bangun daerahmu. Habri Matongang Nama fesbuknya. Mungkin saat ini ia sudah tidak mengajar di SMA itu. Kabar terakhir yang saya dengar, ia katanya dimutasi ke daerah lain di provinsi yang sama, karena ketahuan memilih pasangan calon bupati, yang tidak sesuai dengan pasangan calon bupati yang menang saat itu. Saya tahu bupati itu. Dan kabarnya ia sekarang ia mendaftar lagi jadi balon gubernur di provinsi itu.
Kembali ke masalah pendidikan. Saya tidak tahu persis perubahan apa yang terjadi di Kab. itu. Selama beberapa tahun sejak saya merantau di kampung itu tahun 2008, masuk bersekolah di MTsn di kampung itu, kelas VIII hingga tamat di SMA itu tahun 2013, saya tak melihat perubahan yang terjadi di kota x itu. Termasuk pendidikannya. Oh iya, saya hanya mendengar satu yang penting, katanya landmark "X City" yang terletak di dekat rujab bupati, di lingkungan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MuRI) dengan landmark kota terbesar dan terpanjang di Indonesia. Ah masak? Iya... Katanya.. Temanku bernama Rudy Adyaksya yang mengatakannya. Ampuni dia jika salah. Jika benar, maka kita beri aplouse kepada pak bupati yang menjabat saat itu. Saya dengar, pak bupati yang telah mangkir dari jabatannya sejak akhir tahun 2015 lalu itu kini mengupayakan dirinya maju memimpin masyarakat yang lebih luas lagi. Bukan hanya kabupaten x, tapi lima kabupaten lain seperti M, PM, Ms, MT dan MU.
Ah, kenapa bahas itu lagi. Saya ingin kembali menelisik kasus orangtua yang telah mencabut harapan anaknya. Awalnya ia hanya mencabut harapannya, lalu terhapuslah semua cita cita anak itu. Termasuk cita cita orang tuanya yang seandainya itu tidak terjadi, orang tuanya mungkin akan bangga melihat anaknya tumbuh dewasa dengan toga terletak di kepala sang anak.
Mengapa anak anak harus dilarang berkuliah di luar daerah? Jika memang pemerintah memiliki hati, mestinya pemerintah turut berperan dalam bidang ini. Menyediakan perguruan tinggi yang layak di daerah daerah kecil di sana. Saya heran, jika di Makassar atau di seluruh kawasan daerah ibukota Sulawesi selatan itu, perguruan tinggi negeri dan terutama swasta tumbuh subur bagai cendana di musim penghujan. Sedangkan bagi anak didik yang telah tamat sekolah menengah atasnya di kampung itu (kabupaten yang terletak sembilan jam perjalanan menggunakan bus dari Makassar), harus pusing pusing mencari tempat kuliah. Jika pemerintah memang mau berperan dengan memajukan pendidikan di kota X itu, maka tolong, berilah akses kepada anak didik kita dengan mendirikan kampus kampus di Ibukota propinsi termuda di Indonesia ini, Propinsi X. Jika kampus sudah ada di kota x itu, termasuk kampus negeri, otomatis, anak anak yang sudah lulus SMA harus berpikir dua kali jika ingin keluar daerah lagi. Sehingga, jika anak didik yang telah tamat di kota itu, kemudian berkuliah kembali di kota itu. Cukuplah Musdalifah jadi korban. Al-Fatihah.
26 Juli 2016
Comments
Post a Comment