Saya tak habis pikir mengapa ada kelompok. Ada yang bila, kita mesti memilih kelompok tertentu, karena ada siang ada malam. Kita harus punya satu warna supaya kita bisa kenal mana diri kita dari sekian warna yang ada.
Warna dalam perpolitikan sungguh sangat mengenyampingkan persatuan. Meski pun ada bersatu, tetapi itu mempersatukan golongannya semata, menyatukan satu warna dan membunuh warna lain. Ironisnya, meski tak memiliki kapasitas, tapi karena warna yang sama, maka mereka yang telah punya jabatan politik atau kekuasaan, bisa dengan seenaknya mengambil pemain dari warnanya meski pemain itu masih terlalu muda, alias tak memiliki kredibilitas di bidangnya.
Warna di lingkungan kita akan terlihat dengan jelas ketika akan melangsungkan pemilihan menjadi pemimpin atau ketua. Di bidang apa saja. Termasuk yang akan saya bahas secara ringkas di sini, adalah pemilihan pimpinan atau ketua-ketua di dalam kampus.
Saya mengambil contoh di kampus x. Di sana, perpolitikan terlihat begitu jelas bermain ketika akan dilangsungkan pemilihan ketua/pimpinan. Di situ akan jelas mana warna x mana warna y. Pertarungan warna pun diambil sebagai isu sentral untuk merekrut para pemilih.
Sehingga siapa pun yang naik menjadi pimpinan (misal rektor) akan menjadi aktor politik yang punya fungsi ganda. Selain sebagai menjalankan roda kampus tapi juga menjalankan perpolitikan di suatu daerah, termasuk di wilayah yang dipimpinnya.
Di dalam kampus, pertarungan warna ikut bermain sampai ke tingkatan paling bawah. Katakanlah di kampus x itu. Pemilihan ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan atau Senat Mahasiswa (Sema) atau Dewan Mahasiswa (Dema), kerapkali isu yang dipakai adalah isu pertarungan warna. Antara yang hijau dan yang biru.
Lalu ketika kepemimpinan berlangsung, maka secara otomatis, mereka yang satu warna akan direkrut menjadi anggota dalam struktural kepemimpinannya. Tak lagi melihat kemampuan person dari yang akan memimpin. Jabatan bagai ajang bagi-bagi kue, ketika calon yang diusung menang di arena pemilihan.
Kasihan sekali mahasiswa yang seharusnya belajar berpolitik secara transparan dan jujur dalam memilih pemimpin, harus tercemari dengan politik yang dilakukan sang maha guru di kelas akademiknya. Kasihan sekali mahasisw yang baru ingin belajar jadi pemimpin yang adil harus terlebih dahulu menggunakan cara-cara licik demi menang di kursi pemilihan ketua himpunan atau Sema dan Dema.
Situasi menjadi panas ketika akan pemilihan. Sang calon atau tim suksesnya kemudian melakukan lobi-lobi politik kepada pemilih. Mereka menyajikan kata-kata indah untuk mengambil hati sang pemilih untuk bisa memilihnya atau memilih calonnya. Ucapan yang merayu pun dikeluarkan demi melumpuhkan sang pemilih, bahkan tragisnya, sang pemilih kerap "diculik" ketika sang pemilih tak ingin menuruti apa yang diinginkan dari satu kelompok bersebelahannya.
Belum lagi intimidasi, paksaan dan ancaman, kalau hal-hal seperti janji untuk pembagian jabatan sebelum pemilihan itu sudah biasa. Akan tetapi, ancaman jelas menimbulkan gangguan psikis bagi sang pemilih nantinya. Sungguh perpolitikan di kampus jauh dari maksud pendidikan itu, yang harusnya cerah dan mencerahkan.
Kampus x itu bukan meninggikan motto: percerdasan, pencerahan dan prestasi, melainkan penindasan, penggelapan dan tempatnya berpraktik korupsi.
Sekian saja.
Comments
Post a Comment