Tulisan sederhana dan singkat ini dibuat dalam rangka menanggapi opini berjudul Andaikan Buku Sepotong Roti yang ditulis oleh Bachtiar Adnan Kusuma, Harian Fajar 17 Mei 2018.
Kamis (17/5/2018) pagi menjelang siang, saya mengunjungi sebuah gerai center salah satu perusahaan operator telelomunikasi seluler di Indonesia. Sembari menunggu nomor antrian, saya melihat sebuah koran yang terparkir begitu saja. Karena merasa kasihan, akhirnya saya mengambil koran itu. Lalu membakarnya.
Maksud saya, membacanya. :) (serius sekali ki bela membaca, he he).
Saya membuka halaman opini. Dan ya, saya menemukan tulisan terkait buku. Ditulis oleh seorang yang tidak asing lagi di dunia kepenulisan. Saya pernah dengar dari tetangga jika beliau ini sudah menulis ribuan buku (atau ratusan buku, entahlah. Maaf saya bukan pengingat yang baik).
Oke lanjut ke opininya.
Namanya Bachtiar Adnan Kusuma. Ia mengawali tulisannya dengan memakai sebuah kalimat yang mengandai andai:
"Andaikan buku sepotong roti, maka tak lengkaplah sebuah kehidupan baru bagi masyarakat jika belum menempatkan membaca sebagai bagian penting dalam hidupnya."
Selanjutnya ia membahas tentang kota dunia. Ia mempertanyakan sejak di awal tulisannya, apakah Makassar benar dapat menjadi kota dunia jika masyarakatnya belum menjadikan membaca dan menulis sebagai tradisi.
Lalu ia memberikan contoh bagaimana Bung Hatta, Tan Malaka, dan Bung Karno yang punya kepedulian besar terhadap buku. Seperti perkataan Bung Hatta yang kerap kali kita dengar atau baca, mengatakan: "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas."
Di paragraf berikutnya, sang penulis mulai masuk ke dalam ranah minat baca di skala nasional. Ia menulis dengan jelas bahwa Indonesia adalah bangsa yang belum memiliki kegemaran membaca.
"...masih saja tetap di nomor urut sepatu jika kita sandingkan minat baca negara-negara Asean."
Anda tahu kan angka berapa di bawah sepatu anda? Apakah memang benar demikian rendahnya minat baca masyarakat kita? Mari kita ulas.
Di momen peringatan hari buku nasional 17 Mei, seharusnya masyarakat kita sudah memahami potensi dan peranannya masing-masing. Terutama dalam perkembangan di dunia literasi Indonesia.
Mari menengok ke belakang.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih termasuk sebagai negara berkembang. Negara ini masih terlalu muda jika terus dibanding-bandingkan dengan negara-negara di benua Eropa. Kita terlalu sering memberikan perbandingan yang tidak logis dan akhirnya membuat nama negara kita sendiri menjadi jelek dalam persepsi kita. Kita terlalu sering menyalahkan bangsa besar ini. Seringkali mengumpatnya.
Indonesia banyak korupsi, indonesia banyak teroris, indonesia banyak narkoba, indonesia negara yang malas membaca, malas menulis, berada di urutan kesekian dan ungkapan lain yang gunanya hanya memberikan stereotip negatif untuk bangsa ini. Bolehkah kita sejenak mencari kelebihan apa yang bisa dikembangkan dari dalam bangsa ini?
Mengapa kita sebagai orang asli, yang lahir dan besar dan akan mati di Indonesia, yang jelas-jelas sudah mengikrarkan bahwa Indonesia telah menjadi tanah air kita, tapi toh masih pesimis? Jangan-jangan karena pikiran kita, ucapan-ucapan yang pernah kita lontarkan sudah jadi doa, sehingga membuat negara ini sulit maju? Semoga saja bukan karena itu.
Saya selalu senang, jika ada media atau seseorang/kelompok yang menulis tentang kelebihan negara Indonesia dan hal hal tersembunyi yang pantas dikembangkan dari dalam bangsa ini. Satu hal yang patut disyukuri, sekarang kita tinggal di Indonesia, di sebuah negara yang memiliki suku, agama, rasa dan bahasa masyarakat yang begitu beragam. Bukankah ini hal sederhana yang patut disyukuri?
Kejadian baru-baru ini yang mencederai hati, jangan dijadikan sebagai patokan kita sebagai negara yang masyarakatnya saling membenci. Sungguh bukan itu. Sebagai contoh, saya saat ini tinggal dan bekerja setiap hari menghadapi orang-orang dengan keyakinan, pemahaman, suku, dan warna kulit yang berbeda, tapi kami baik baik saja. Saya bertemu dengan belasan hingga puluhan orang tiap harinya. Berdiskusi atau hanya sekadar basa basi. Kami tetap menjalin hubungan silaturahim yang baik. Bahkan seorang teman yang berasal dari Papua yang bisa saja kami berbeda ideologi tapi kami disatukan atas nama literasi, melalui pesan Whatsapp ia mengirimkan gambar yang bertuliskan "Marhaban ya Ramadan".
Kami baik-baik saja. Kami disatukan dengan satu kata "Indonesia". Nah bayangkan saja jika Indonesia tidak ada? Apa yang akan menyatukan saya, Anda dan mereka?
Sebaik-baik pemersatu adalah negara. Menyebut Indonesia, menanamkan cinta terhadap bangsa ini sangat penting. Sebab kita bangga tinggal dan besar di tanah air kita sendiri.
Kita memang memiliki masa silam kelam. Kita pernah dijajah, tapi jangan jadikan itu sebagai hal yang memperlambat. Ayo bangkit. Lihatlah bagaimana anak-anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia. Baik di bidang musik, sastra, olahraga, seni, hingga olimpiade sains. Bukankah mereka juga menggunakan satu nama ketika mereka ke luar negeri? Mereka bangga pada Indonesia dan telah memberi sumbangsi nyata pada negara.
Orang orang yang masih suka nyinyir menyalahkan Indonesia, menyalahkan orang lain padahal dirinya sendiri belum berbuat apa-apa untuk negara ini, belum membuat karya nyata, maka jangan terlalu pedulikan ia. Sebab golongan seperti ini masih kurang membaca, kurang menyelami mutiara dari dalam negaranya sendiri dan dari lingkungan terdekatnya.
Lanjut ke bagian opini.
Jika Bachtiar Adnan merilis data dalam tulisannya, dan menganggap itu sebagai ironi maka wajar wajar saja. Ia menulis:
"..jumlah penduduk terbesar 240 juta jiwa hanya mampu menerbitkan sekitar 24.000 judul buku baru pertahun dengan rata-rata cetak perjudul sekitar 3000 eks. Artinya buku baru pertahun beredar hanya 72 juta."
Lalu Ia mengambil standar dari UNESCO dengan menulis,
"Padahal UNESCO menetapkan bahwa 1 orang minimal membaca 7 judul buku pertahun (di Indonesia 1 judul buku baru dibaca 4 orang). Jelaslah, Indonesia berada di urutan ke-60 sebagai salah satu negara paling terendah budaya membacanya dari 65 negara!"
Bagaimana perasaan para penggiat literasi ketika membaca tulisan di atas? Tulisan itu sudah dipublikasikan di media cetak! Rasanya sangat mengiris, bukan?
Tentu saja jika kita mengambil standar Unesco untuk melihat jumlah baca buku masyarakat Indonesia (ingat masyarakat, bukan Indonesia sebagai negara). Tentu saja, negara kita belum begitu sempurna secara keseluruhan, jika harus membaca 7 judul buku baru tiap tahunnya.
Pertanyaan sederhananya, dari mana tiap orang mau mendapat 7 buku?
Sumber Bacaan
Kita harus mengenyampingkan dulu bahwa buku sangat banyak dan mudah didapatkan di perpustakaan-perpustakaan.
Sebelum itu, mari kita selidiki. Apa yang menjadi tingkat kebutuhan masyarakat dalam mengakses buku dan buku seperti apa yang disukai.
Pengamatan terbaru saya, yang melihat kecenderungan remaja saat ini yang sangat suka membaca buku/tulisan dari media daring. Seperti dari wattpad. Jutaan remaja hari ini, menghabiskan waktunya membaca buku daring yang dianggapnya menarik. Selanjutnya, beberapa dari pembaca itu membeli buku yang ingin dibacanya. Lewat mana? Tentu lewat online. Lewat toko buku online (daring). Sekarang banyak toko buku/penerbit indie dan mayor yang menjual bukunya secara daring. Sangat bisa dibandingkan hari ini, begitu toko toko buku konvensional mengalami kemunduran tingkat pengunjung. Ya, tentu ini juga masuk dalam hal disrupsi di dunia perbukuan.
Tetapi apa yang ingin saya katakan? Saya hanya mau bilang, dari merebaknya toko buku daring itu, hanya masyarakat dari golongan menengah dan atas yang mampu membelinya. Sedangkan jika dilihat data kemiskinan di negara kita yang sungguh masih tinggi. Sehingga, tentu yang bisa mengakses buku bacaan yang diminati, hanya golongan-golongan tertentu. Begitu banyak pembaca yang ingin memiliki satu judul buku tertentu yang menarik baginya, tapi buku itu memiliki harga yang tinggi. Dompet kosong sehingga dengan pikiran rasional, banyak pembaca yang kadang lebih memilih membeli makanan daripada buku, ketika uangnya tidak sampai untuk membeli sebuah buku. Atau bahkan, banyak pembaca, yang rela kelaparan, tidak makan, hanya untuk membeli sebuah buku. Bukankah begitu realitas yg terjadi hari ini?
Kesimpulan singkat: Harga buku mahal.
Sehingga, yang mesti diperbaiki adalah regulasi harga buku. Buku yang dicetak oleh penerbit, lalu dijual dengan harga tinggi. Alasan utama karena harga kertas, dan bahan baku lain yang tinggi. Tidak bisakah jika pemerintah dalam hal ini pemilik kebijakan, atau pengusaha yang punya banyak modal, mendirikan sebuah percetakan buku murah. Atau ada pihak yang mampu menyuplai bahan baku buku dengan harga yang relatif lebih terjangkau? Atau pemerintah bertindak memberikan subsidi agar harga bahan baku kertas, kayu dan segala jenisnya? Pemerintah diharapkan dapat mengucurkan dana besar untuk hal ini. Karena saya meyakini, jika harga buku murah, harga cetak buku yang terjangkau, maka orang-orang akan lebih banyak lagi membeli, dan akhirnya membaca buku. Setuju?
Buku di perpustakaan gratis
Iya, tapi bagaimana kondisi perpustakaan saat ini? Banyak gedung perpustakaan yang bagus dan mewah tapi orang yang membaca di dalamnya sangat kurang. Gedung perpustakaan hanya diisi oleh pegawai-pegawai perpustakaan saja yang kadang lebih banyak bergosip daripada memberi contoh dengan membaca. Kondisi perpustakaan yang kadang memperibet masalah administrasi, tentang buku yang dipinjam dan larangan-larangan lain yang membikin pembaca jadi malas lagi mengunjungi perpustakaan.
Selanjutnya, mengapa kita mau mengambil penelitian dari unesco yang tidak merata itu lalu menempelkannya ke dalam tulisan lalu mengatakan minat baca bangsa Indonesia yang rendah? Apakah unesco sudah meneliti tahun 2017-2018 ini?
Beberapa tahun terakhir, Nirwan Ahmad Arsuka, M Ridwan Alimuddin, Andhika Mappasomba dan ratusan bahkan ribuan penggiat literasi di seluruh pelosok tanah air (maaf karena tidak bisa menyebut nama teman-teman yang bergerak di dunia suci ini) masih semangat menyebar buku untuk daerah-daerah terpencil yang tak sanggup membeli buku.
Para penggiat literasi ini mendirikan Perpustakaan bergerak. Yang berarti penggiat literasinya yang membawa buku dan menemui pembacanya. Sungguh perjuangan panjang, hingga akhirnya presiden Indonesia, Ir Joko Widodo dengan kerjasama pihak PT Pos Indonesia, akhirnya menggratiskan pengiriman buku ke seluruh tanah air yang terdaftar di pustaka bergerak Indonesia, setiap tanggal 17 tiap bulannya. Jika anda ingin mencoba, silakan buka data pustaka bergerak Indonesia di mesin pencari semisal google, lalu pilih satu atau beberapa dan siap-siap membawa paket buku ke kantor pos terdekat, lalu jangan lupa cantumkan kata #bergerak di paket. Maka anda akan digratiskan.
Para penggiat literasi ini mendirikan Perpustakaan bergerak. Yang berarti penggiat literasinya yang membawa buku dan menemui pembacanya. Sungguh perjuangan panjang, hingga akhirnya presiden Indonesia, Ir Joko Widodo dengan kerjasama pihak PT Pos Indonesia, akhirnya menggratiskan pengiriman buku ke seluruh tanah air yang terdaftar di pustaka bergerak Indonesia, setiap tanggal 17 tiap bulannya. Jika anda ingin mencoba, silakan buka data pustaka bergerak Indonesia di mesin pencari semisal google, lalu pilih satu atau beberapa dan siap-siap membawa paket buku ke kantor pos terdekat, lalu jangan lupa cantumkan kata #bergerak di paket. Maka anda akan digratiskan.
Tentu ini sebuah gerakan yang sudah cukup baik. Saya pikir, setelah berjalannya beberapa tahun, dan buku sudah masif disebarkan. Beberapa penerbit, perusahaan negeri dan swasta serta pihak pribadi telah menybarkan buku ke ratusan lingkar pustaka bergerak Indonesia, dan Taman Bacaan masyarakat, saya kira sudah mebgubah data angka minat baca negara ini. Hanya saja sampai sekarang belum kita temukan. Coba turunkan tim yang mendata itu.
Selanjutnya adalah ketika di beberapa daerah dan juga melihat masa lalu bangsa ini, Sesungguhnya bangsa kita bukanlah bangsa yang malas dalam membaca. Saya setuju dengan perkataan seorang penggiat literasi asal sulsel bernama Andhika Mappasomba yang sudah belasan tahun mengabdi di pedalaman tanah air, berkeliling Indonesia hanya untuk menyebarkan buku. Namanya tidak ingin dikenal oleh orang-orang Jakarta atau ingin disebut sebagai sastrawan lalu terkenal se Indonesia karena masuk media. Bukan itu yang diinginkan.
Ia mau masyarakat di pedalaman merasakan kehadiran sosok sejati penulis buku. Sosok sejati penggiat literasi. Yang namanya dikenal oleh masyarakat terkecil di pedalaman kampung, yang tak pernah tahu keberadaan TB seperti gramedia atau toko buku lainnya. Mereka hanya mengharap uluran tangan dari para pegiat literasi dengan kesadaran dirinya memberikan bahan bacaan yang berkualitas.
Meskipun, pada dasarnya pemerintah sudah ikut campur tangan dengan ini. Melalui komite buku nasional dan lewat kementerian pendidikan dan kebudayaan yang mengirim sastrawan atau penggiat seni masuk kampung lalu dibiayai full. Tapi jika dilihat dari kuantitasnya? Ada berapa orang/pegiat literasi yang turun tangan? Sedangkan indonesia ini adalah negara yang begitu luas? Terbentang dengan ribuan pulau?
Saya pikir jumlah penduduk saat ini sudah lebih 240 juta jiwa. Namun ada begitu banyak masyarakat yang belum dideteksi, misal yang tinggal di pedalaman hutan, pulau terpencil, dll.
Hal yang paling penting adalah, kita sebaiknya menyadari bahwa meskipun minat baca buku yang kurang, sebetulnya masyarakat kita memiliki minat membaca yang begitu besar. Anak anak yang dibiasakan membaca akan sampai besar terus membaca. Tapi, jangan jadikan buku sebagai patokan. Bisa sumber lain. Ketika harga buku sudah terjangkau oleh semua masyarakat, (tidak seperti sekarang harga buku 35.000-100.000), atau rata-rata buku bagus seharga 50-70 ribu/ buku, dan itupun ketika dikirim lewat jasa pengiriman tentu memakan harga, sehingga harga buku jadi semakin tinggi. Apakah dengan seperti ini orang-orang akan mudah membaca buku? Jika memang apa dasarnya masyarakat kita sejak dulu memiliki kebiasaan suka berbicara dari pada menulis?
Ya, masyarakat kita sejak dulu kala memperkenalkan sastra lisan. Bayangkan saja kitab I la galigo sebelum dibukukan, naskah itu dibicarakan, dan tersebar. Sehingga kita mengenal banyak dongeng atau cerita masyarkat tempo dulu dari mulut ayah, ibu atau kakek dan nenek kita. Mereka meneruskan sastra lisan. Dan kita menerimanya dengan mendengar, bukan dengan visual, membaca. Jadi jangan sekali lagi, menilai sekarang ini tinngkat membaca buku masyarakat indonesia rendah. Karena ada sumber pembelajaran literasi lewat medium lain.
Saya yakin, jika kekurangan-kekurangan ini bisa kita perbaiki, dan banyak pihak yang memberi teladan, sekitar 30-40 tahun mendatang, atau pada tahun 2040-2050 atau ketika usia bangsa indonesia merdeka 95 tahun. Tentu saat itulah kita baru bisa membandingkan dengan negara Amerika, Inggris, Prancis, dan negara-negara lain yang kita sering jadikan perbandingan dengan menggunakan frasa "negara luar" atau "luar negeri" atau "negara barat". Sebab negara semisal Amerika tentu sangat berbeda usianya dengan Indonesia. Amerika saat ini sudah berusia ratusan tahun sedangkan Indonesia kita baru berusia 70-an tahun.
Kelak kita benar-benar akan mendengar adanya Peradaban Indonesia. Negara yang paling berkuasa dan besar di dunia.
Jangan mudah banyak bicara dengan menyebut perbandingan-perbandingan saat ini. Banyak bicara bahwa Indonesia rendah itunya, ininya, dll. Lalu menyebut Amerika, inggris dan negara lain dengan kebanggaan yang begitu besar.
Kita harus menumbuhkan sikap nasionalis, yaitu semangat kita bagaimana mulai mencintai negara ini dengan apa adanya. Menghiraukan segala bentuk hal negatif, fokus pada apa yang bisa dikembangkan. Dengan ini saya menulis. Saya menikah dengan penulis, saya ingin membentuk keluarga yang paham akan literasi, ikut membuat gebrakan yang baik buat bangsa, setidaknya baik dulu buat keluarga saya dan bermanfaat bagi tetangga samping rumah saya.
Kita harus menumbuhkan sikap nasionalis, yaitu semangat kita bagaimana mulai mencintai negara ini dengan apa adanya. Menghiraukan segala bentuk hal negatif, fokus pada apa yang bisa dikembangkan. Dengan ini saya menulis. Saya menikah dengan penulis, saya ingin membentuk keluarga yang paham akan literasi, ikut membuat gebrakan yang baik buat bangsa, setidaknya baik dulu buat keluarga saya dan bermanfaat bagi tetangga samping rumah saya.
Sekian.
Selamat hari buku nasional. Selamat merenung, selamat membaca, selamat merasai.
MgP
Comments
Post a Comment