INI BERMULA sejak tiga tahun lalu, tepatnya 2015 silam. Saat itu saya dengan semangat semangatnya menulis dan mencari tahu apa itu dunia kepenulisan (dan juga pada akhirnya, dunia perbukuan).
Tiga tahun sebelumnya, saya membikin blog pertama saya. Saya curahkan segala isi hati lewat wadah itu. Dari situ saya belajar berproses.
Akhir 2015, buku pertama saya terbit di salah satu penerbit indie di Jogja. Bukan waktu sebentar menyiapkan semua penerbitan (dan biaya) buku perdana saya untuk terbit kala itu.
Sebelum akhirnya terbit di Garudhawaca, naskah kumpulan puisi saya itu saya kirimkan ke salah satu penerbit indie yang saya kenal lewat sebuah event kepenulisan berhadiah paket penerbitan gratis di FB (dengan syarat buku antologinya itu harus dibeli lagi setelah terbit).
Di belakang hari, ternyata naskah buku saya tidak diacuhkan. Bukan hanya itu, setelah saya susah payah membuat cover buku saya sendiri dan belajar mengeditnya, rupanya setelah buku dikirim ke saya, nomor ISBN yang tercantum di belakang buku ternyata adalah palsu. ISBN tidak terdaftar di Perpusnas.
Di belakang baru saya tahu, rupanya pengelolanya anak anak SMK-SMA yang mencoba mengadakan event kepenulisan hanya untuk mendapat keuntungan materil.
Padahal saya sudah begitu bangga ketika pertama kali mendapat telepon dari redaksi penerbit itu bahwa buku saya sudah naik cetak. Saya ingat persis hari itu, kala saya sedang berada di Puncak Gunung Bulusaraung, 14 Juli 2015.
Tapi akhirnya saya beruntung karena saya boleh bilang, berhasil 'move on' dari penerbitan abal abal itu (hari ini saya tidak pernah lagi mendengar nama penerbit itu).
Saya kemudian googling. Bertanya kepada senior di kampus, di komunitas kepenulisan, kepada orang orang yang sudah menerbitkan buku.
Orang yang pertama saya tanyai adalah Wawan Kurn. Lewat bukunya, Persinggahan Perangai Sepi yang diterbitkan oleh Penerbit Garudhawaca.
Saya mencari tahu penerbit itu, mencoba mengirim email dan mengirimkan pesan singkat (sms; saat itu saya belum akrab dengan WA).
Saya sebetulnya kenapa tertarik dengan penerbit ini, karena melihat hasil cetakannya yang bagus. Dan juga sebetulnya penerbit ini hasil rekomendasi dari kakak ipar saya (yang saat itu belum jadi kakak ipar, hehe), beliau juga penulis tapi lebih dikenal sebagai peneliti di kalangan mahasiswa UNM dan anggota LPM Penalaran.
Tepat bulan September 2015, naskah kumpulan puisi perdana saya akhirnya masuk di email redaksi penerbit (saat itu niat saya menerbitkan buku sebenarnya cuma mau belajar persoalan menerbitkan buku secara self publishing, meskipun niat saya berikutnya adalah saya mau mengaktualisasikan ide ide kecil saya yang saya tulis agar bisa dibaca orang, dan niat selanjutnya ya agar tulisan saya tidak hilang!).
Tapi, di belakang hari saya sedikit kecewa lagi. Bukan pada hasil cetakan buku itu, tapi karena lamanya proses penantian buku itu dikirim ke saya. Setiap kali saya menghubungi pemilik penerbit itu, tapi selalu gagal. Bahkan jika pun dijawab, katanya sedang proses. Satu, dua, tiga bulan berlalu.
Desember 2015, buku saya pun terbit. Sudah Ber ISBN. Nomornya 978-602-7949-71-3. Anda mau cek atau tidak lewat laman isbn.perpusnas.go.id, itu terserah Anda. Saya sangat bangga karena sudah membukukan hasil tulisan saya sendiri.
Tapi masalah kembali terjadi. Entah kesalahan teknis barangkali, baru 10 eks buku saya yang sudah dicetak dan dikirim ke alamat saya pada Januari 2016. Sisanya menyusul setelah alat percetakan sudah baik.
Saya pun bersabar. Sambil menunggu sisa buku, saya belajar buat promosi buku itu di FB. Dan akhirnya laku. Kebanyakan yang membelinya adalah teman kampus. Saya masih ingat pembeli pertama buku saya adalah sahabat saya, Andi Abri Anto.
Saat itu orang tua saya tidak percaya kalau saya sudah buat buku. Akhirnya saya kirimkan juga satu eksemplar ke tempatnya, di Mamuju. (Saya tinggal di Gowa, terbentang ratusan meter dengan ayah dan ibu).
Saya masih ingat ketika ayah saya memberi apresiasi lewat fbnya. Saya lalu memantau fbnya. Lalu menemukan foto buku saya. Di atasnya ada keterangan singkat tertulis. Kira kira ia begini di isinya
"Ini buku anak saya."
Seketika sya terenyuh. Merasa sangat bangga dan terharu. Padahal uang beliaulah yang saya pinjam kala itu sebesar 500 ribu untuk biaya cetak buku saya.
Dua tahun berlalu. 2016 dan 2017 saya tidak menerbitkan buku. Alasannya jelas, karena saya mau lebih banyak belajar lagi persoalan dunia perbukuan, dan saat itu saya sedang membaca buku buku sastra.
Bahkan skripsi seringkali saya nomorduakan. (Meskipun di akhir, alhamdulillah saya lulus tepat waktu sebelum empat tahun dan meraih IP yang lumayan, tapi itu bukan hal yang saya cari, sebenarnya. Saya masih memikirkan satu hal: buku!)
Di tahun 2017, saya menyunting beberapa buku (untuk menyebut lebih dari satu buku, walaupun cuma dua, hehe) sebelum diterbitkan.
Selain mengedit beberapa buku saya dan teman teman juga mengelola RAKIT, Rumah Belajar Kita, Gowa, sebuah rumah baca untuk masyarakat di Gowa, Sulsel.
Saya dibantu oleh orang hebat hebat seperti Ainun, Riswan, Muh Baso Aqhil, Muhammad Ikhsan Sapa dan Hikmah Khairani serta satu lagi, adik saya, Sakina Amaliah Pratiwi.
Di tahun tahun ini kami sibuk mengajar, dan sibuk mencari donatur agar referensi buku dan bahan bacaan lain di rumah belajar kita Gowa bisa terpenuhi.
Nah singkat cerita saat itu pula mimpi saya untuk membuat penerbitan buku mulai mencuat. Saya dan Ainun yang saat itu masih sebatas sahabat pena, memimpikan bisa membuat rumah penerbitan.
Namun, tahun 2017 kami lewati dengan begitu banyak kesibukan. Mulai dari persoalan penyelesaian, kerja dan, ya.. jodoh. 😋
Akhir 2017 setelah keluarga saya mendatangi keluarga Ainun dan menanyakan keseriusan, akhirnya beberapa bulan kemudian, kami akhirnya menikah.
Ada yang bilang kami itu pasangan penulis muda. Tadi kak Jumadi juga bilang begitu di acara Aqiqahan.
Tapi sebetulnya tidak ji juga kodong.
Ainun ji yang penulis. Deh dia sudah empatmi buku yang dia tulis. Novel, Kumcer, Puisi, sudah semuami nagarap. Belum lagi opininya sering dimuat di Koran. 😂
Nakke kodong apaji. Hanya anak muda yang masih belajar tindisan gitar dan belajar cara naik mobil.. Hehe 👦
Setelah menikah awalnya kami masih mencoba menyesuaikan..
Hari demi hari kami lewati. Buku yang saya terbitkan di Shira Media pas hari pernikahan pun, biayanya saya ambil dari gaji dan mencoba mengutang. Tapi alhamdulillah sekarang semua lunas dan stok buku untuk dijual sudah habis.
Saya menerbitkan dan mencetak buku itu sebetulnya hanya karena ingin lebih mengabadikan momen sakral saya. Yakni pada 7 April 2018. Hari pernikahan dan kupersembahkan sebuah buku.
Baru setelah menikah..
Jalan kami untuk membuat penerbitan buku mulai terbuka. Setelah mendapat dukungan dan hasil diskusi dengan bapak di Mamuju waktu libur Idulfitri lalu.
Setelah merasa cukup. Mencari tahu segala syarat, akhirnya kami pun membikin sebuah penerbitan.
Mengurus akta, surat izin dan isbn dikerjakan selama kurang lebih dua bulan.
Dan akhirnya hari ini, mimpi itu pun terwujud. Nyata di depan kita semua. Sebagai pimpinan Penerbit, Ainun Jariah berharap kejadian yang di awal tulisan ini, tidak lagi dialami oleh suaminya. Cukup suaminya yang jadi korban.
Di CV. Jariah Publishing Intermedia, Ainun berharap bisa menerbitkan karya siapa saja tanpa harus terkendala dengan kerumitan prosea penerbitan dan biaya percetakan. Semuanya bisa dikomunikasikan secara transparan.
Bahkan kalau ada yang mau ditanyakan, Ainun siap menjawabnya. Ya kan, istriku? Heheh.😉
25 Agustus 2018 - akhir hayat.
Disalin langsung dari laman FB M. Galang Pratama.
Comments
Post a Comment