Selalu terlintas ide untuk menulis. Tapi hanya berakhir di kepala. Ada juga yang tersimpan di hati. Tapi tak kunjung jadi tulisan. Sehingga hanya saya saja yang tahu, atau kepada orang yang kuberitahu.
Kadangkala, ide hanya habis diceritakan. Tinggallah ia menjadi suara, yang tak jadi apa apa. Tak ada yang mengikatnya sehingga dapat berlalu, mudah dilupakan.
Itulah mungkin sebabnya, ketika ada hal yang ingin kau lakukan, jangan dulu bicarakan ke orang lain, itu akan sulit diwujudkan. Wujudkanlah dulu, sampai orang lain akan melihat/membacanya (dengan sendiri), dan mengakuinya sendiri.
Menulis bukanlah pekerjaan mudah. Karena kalau saja ia mudah, tiap penulis baik tentu dapat menulis dengan baik setiap waktu. Tapi nyatanya? Seringkali penulis dihantam oleh writers block, keadaan yang mana penulis tak dapat menulis apa pun.
Barangkali saya setuju dengan alasan Mahfud Ikhwan bahwa menulis itu tidak mudah alias berat.
Menulis selalu menghadapi godaan begitu ia hendak ditunaikan. Selalu ada setan untuk setiap langkah menuju menulis. Jika bukan sejenis iblis durhaka yang mengajak orang-orang beriman kepada dosa, pastilah setan itu berbentuk manusia, yang wajah dan cara berpikirnya serupa penulisnya. Lalu, kenapa menulis itu berat? Karena tak ada kebaikan yang bisa dilakukan dengan gampang. (Mahfud Ikhwan, Mojok)
Saya ingin menuliskannya di blog ini
Entah kenapa saya rindu menulis langsung di layar blog ini. Memang beda rasanya saat menulis untuk 'agak pamer' seperti saat mem-posting tulisan di media sosial (yang sangat memungkinkan untuk meng-unggah foto/gambar).
Mengapa saya memberi tanda kutip pada dua kata di atas? Karena, adanya simbol reaksi yang diberikan pada aplikasi media sosial, seringkali menuntut, baik secara langsung atau tidak, penulisnya mengharapkan respon berupa 'like' atau 'love'. (Terutama di Instagram).
Di blog seperti ini, meski tombol reaksi dapat diaktifkan melalui pengaturan, namun blogger punya kendali atasnya. Ingin pasang, atau tidak. Dan rata rata blogger tidak memasangnya.
Menulis di sini rasanya seperti kau berbicara kepada sahabatmu. Kau bisa berbicara apa saja, sepanjang yang kau bisa. Dan sahabatmu akan mendengarnya saja/ tanpa harus memotong pembicaraan dan ceritamu. Ia baru memberikan respon berupa komentar, saat kau telah mengakhiri ceritamu.
Blog adalah wadah menulis terbaik
Saya pernah menggunakan medium.com untuk menulis. Begitu juga dengan Kompasiana. Paling awal, saya menggunakan diary (binder) untuk menulis cerita. Seingatku, saya menulis cerita di binder, saat kelas 3 SD dan berlanjut sampai kuliah S1 hingga tamat.
Saya merasa, tak ada wadah terbaik selain blog. Saya agak sulit menjelaskannya kepada Anda. Tapi, ya saya telah jatuh cinta, ketika mulai mengenal blog itu sendiri.
Mengumpulkan catatan berserakan
Di ponsel saya, ada lebih dari satu aplikasi untuk mencatat. Pertama, saya pakai Fast Notepad. Kedua, saya juga meng-install ColorNote. Sejak awal saya telah menggunakan kedua aplikasi note itu ketika ponsel saya ini saya beli (dibelikan) pada akhir 2017.
Tapi ya, aplikasi gratis di android itu, hanya mampu saya operasikan saat offline, saya hanya bisa membacanya dan membukanya serta mengisinya dengan mengetik langsung dari hp.
Itu yang membedakan dengan blog. Blog memungkinkan penulisnya menulis melalui layar mobile di ponsel atau melalui layar desktop di PC atau laptop.
Akan tetapi, kelebihan menggunakan 'Catatan' di ponsel, kau dapat mencatat hal hal yang ingin kau ingat segera, atau ingin segera dituliskan meski hanya berupa poin poin singkat saja.
Dari sinilah, saya berkesimpulan.
Saat beberapa hari atau bahkan bulan terakhir, saya tak mengisi blog ini (saya hanya masuk di blog ini terkahir kali hanya karena saya ingin mengganti temanya), maka saya ingin, apa yang sudah saya catat di hp bisa saya posting ulang di blog ini.
Thanks for Sharing
ReplyDeletePijat Panggilan Serpong Bsd