Galang dan Ainun di SMP/MTs Aisyiyah Sungguminasa Gowa, 16 Juli 2018 Foto : Siswa MTs Kelas VII/TN |
Tahun Ajaran 2007/2008, saya mulai masuk di SMP/MTs Aisyiyah Sungguminasa. Ya, sekolah ini menjadi batu loncatan bagi saya, sebab menemukan seorang guru baik bernama Pak Sudirman (Guru Mapel Matematika, yang baru hari ini saya ketahui kalau beliau sudah pensiun, tapi masih tetap mengabdi) dan Ibu Munasiah (Guru Biologi yang sekarang menjabat kepala perpustakaan sekolah ini).
Asal mula saya menyenangi ke dua mapel tersebut berkat dua guru itu. Saya masih ingat ketika masih duduk di kelas VII, ketika pelajaran berlangsung, tiba tiba saya mendapat panggilan oleh seorang siswa kelas IX.
"Kamu dipanggil sama Pak Sudirman," katanya.Saya heran, guru itu adalah guru senior dan sangat disegani oleh siswa di sekolah ini, tapi saya dipanggil oleh beliau untuk datang ke kelasnya. Kala itu beliau mengajar Matematika di kelas IX.
Sesampai di kelas saya pun seketika diberi kapur tulis putih.
"Silakan selesaikan bagi bagi di atas."
Saya bergetar. Saat itu saya memang orangnya sangat pendiam (meskipun sampai sekarang, masih begitu, hehe), ketika mengambil kapur dari tangan Pak Sudirman, seketika saya mencoba menyelesaikan soal pembagian yang ada di depan kelas. Bukan main gugupnya saya ketika itu, karena disuruh berdiri di hadapan siswa kelas IX, yang tentu berada dua tahun di atas saya. Tapi saya yakin saja kala itu.
Alhamdulillah, pada akhirnya saya bisa menyelesaikannya. Meskipun saya belum percaya sampai sekarang kenapa saya bisa melakukannya.
Naik di kelas VIII (kelas dua SMP), saya dipertemukan oleh guru favorit saya berikutnya. Beliau adalah Ibu Munasiah. Seorang guru Biologi. Murah senyum dan baik hati. Berkat beliaulah sampai saat ini saya menyenangi pelajaran Biologi (meskipun jurusan yang pada akhirnya saya ambil di kampus adalah Hukum, tapi saya berhasil mendapat seorang pasangan dari jurusan Pendidikan Biologi ).
Sengaja memang cari yang guru. Karena kalau saya gagal jadi guru, ada kekasih saya yang jadi guru. Orang tua kami pun, ternyata berprofesi yang sama.
Lanjut di kelas delapan. Kala itu, setiap pelajaran yang saya tunggu kalau bukan Matematika, ya tentu saja, Biologi. Tapi ada kisah menarik yang tak akan saya lupakan juga. Ini tentang teman saya.
Saat itu saya memiliki teman yang boleh dibilang sahabat. Di antaranya ada Muh. Chaidir Ali, Muh. Aswan Amir, Firman, dan satu lagi yang tak akan saya lupakan karena sering mentraktir saya makan pisang molen setiap jam istirahat telah tiba (kalian bisa lihat di belakang foto saya ada penjual gorengan. Persis seperti 11 tahun silam). Namanya Rony. Tapi sekarang sayangnya saya tak mendapatkan kontaknya lagi. Sekiranya ketemu, sekarang saya mau mentraktir balik dia.
***
Takdir berkehendak lain. Karena orang tua saat itu pindah 'ngajar' ke Mamuju, Sulawesi Barat, sehingga salah seorang anaknya mesti ikut ke sana. Dan tanpa basa basi, sayalah yang ditunjuk oleh orang tua.Sangat berat untuk menyampaikan berita itu ke teman sekelas dan wali kelas saya kala itu. Apalagi, pas di jam mata pelajaran Biologi berlangsung, di depan Ibu Munasiah yang saya kagumi, saya menyampaikan surat terakhirku kala itu. Saya bilang kalau saya akan selesaikan surat pindah saya segera. Karena akan ikut orang tua ke Mamuju. (Sau terekaya baru teringat di belakang hari kalau hari perpisahan itu juga ditandai dengan Hari Ultangtahun dari Ibu Munasiah. Sehingga momen saat itu masih terekam dalam sebuah foto yang kini masih disimpan oleh Ibu Munasiah).
Seketika ruangan tampak haru. Sebelum saya pulang, oleh guru kami, guru favorit kami, Ibu Munasiah, memberikan ide kepada seluruh teman teman.
"Silakan tulis pesan dan kesanmu pada Galang. Tulis di kertas, jangan lupa cantumkan nama kamu."
Alhamdulillah, itu adalah momen terindah yang tak bisa hilang di pikiranku sampai detik ini. Bahkan, ketika saya berangkat ke Mamuju keesokan harinya, di mobil Bus, saya membuka satu demi satu surat dari teman2saya. Isinya rata rata sedih. Tapi ada juga yang lucu. Pasalnya, ada beberapa orang siswi yang menyampaikam isi hatinya pada saya.
Ada yang menyatakan ketertarikan, tetapi ada juga yang katanya "saya suka kamu galang, kalau kamu lebih tinggi."
Haha. Jelas saja. Tinggi saya waktu SMP adalah semampai alias "semeter tidak sampai". Begitu istilah yg sering ditujukan pada fisik saya kala itu. Memang, saat itu, saya adalah siswa yang paling mungil (alias pendek dan lucu, kata kedua sengaja saya buat buat ).
Tapi karena seseorang dinilai bukan cuma tampilan fisiknya, sehingga saya pede saja. Sebab meski tinggi badan tak seberapa, tapi rendah hati adalah puncak dari segala penilaian orang. Itu yang saya coba jaga.
Saya mau cerita apa lagi ya?
Oh iya, saya seketika berpikir menulis memori saya ini karena mendapat inspirasi yang pas. Sebab, untuk kali pertama, saya kembali menginjakkan kaki saya di sekolah yang membesarkan saya. Sekolah yang mengajarkan saya berbagai arti. Tentang cinta, persahabatan, hubungan antara guru-siswa dan soal ketahanan diri.
SMP Asyiyah Sungguminasa, hari ini saya mendatanginya kembali. Mencoba menelusuri artefak artefak yang mulai saling berpisah. Seperti puzzle, saya mencoba menyatukannya agar terlihat utuh.
Tapi dulu, 11 tahun lalu, saya datang dengan sepeda, alhamdulillah kini saya datang, masih dengan dua roda.
Jika dulu saya datang sendiri, beda dengan sekarang. Saya datang ditemani Ainun, pendamping hidup saya yang terbaik, terkeren, tercantik, terajin, terenak masakannya, dan ter ter yang lain. 🙌
Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur. Sebab, akhir tujuan kami datang ke sekolah ini menemukan manfaat dan rejeki. Besok, istriku akan membawa berkas lamarannya untuk jenjang SMA di sekolah ini.
Saya bincang bincang dengan Kepseknya. Bertukar pikiran, dll. Saya pun sempat ditanya mengenai pekerjaan saya. Dan altivitas saat ini.
Alhamdulillah, beliau bangga. Dan kami pun pulang membawa berita yang menenangkan hati. Menenteramkan jiwa. Sekian.
Sumigo, 16/7/2018.
*Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di sini.
Comments
Post a Comment