KETIKA membaca pernyataan Bob Sadino, yang kira kira bilang begini:
"Orang pintar itu banyak pikirannya, tapi orang goblok hanya satu. Jadi bisa fokus."Seketika saya teringat apa yang telah orang tua dan guru ajarkan tentang makna kepintaran.
Mulai dari SD, SMP, SMA bahkan (ada juga) hingga ke perguruan tinggi, kita "dipaksa" untuk pintar (baca: mampu) menguasai seluruh mata pelajaran.
Setiap guru menuntut agar siswanya "mendapat nilai tinggi" pada setiap mata pelajaran yang diampunya.
Lalu sistem ranking/peringkat pun dimulai dari akumulasi nilai pada seluruh mata pelajaran. Sehingga siswa yang meraih peringkat tertinggi pasti akan mendapatkan cap sebagai siswa yang pintar, cerdas atau sebutan lain yang sejenis.
Maka paradigma orang tua/keluarga -kemudian masyarakat- akan terbangun bahwa "siswa dengan peringkat 1 adalah siswa yang paling pintar di antara siswa yang lain."
Lalu pada akhirnya, orang tua, keluarga, masyarakat akan menuntut anak anaknya meraih peringkat 1.
Ini jelas hal yang memusingkan jika kita melihat dengan kacamata seberapa penting skill / bakat.
Kemudian jika kita meruntut hingga ke akar, maka akan ada hasil yang menyatakan bahwa orang pintar di negeri ini ada banyak. Tapi kebanyakan dari mereka tak bisa berbuat apa apa.
Loh kok, kenapa?
Sebab pintar -dalam tanda kutip, miliknya orang Indonesia- adalah (pintar) dengan banyak ide tanpa aplikasi. Banyak bicara kurang kerja.
Bagaimana tidak, sedari di bangku sekolah dasar, pikiran tak pernah diajarkan untuk fokus pada satu masalah. Tapi diajarkan dan dipaksa untuk "ahli" di segala bidang (mata pelajaran). Hah?
Pantas saja, tiada yang benar-benar ahli di negeri ini, kecuali hanya sedikit.
Singkatnya:
Jangan menuntut siswa harus mendapat ranking 1 atau mampu pada setiap mata pelajaran. Ikuti ke mana bakat melaju. Sebab di situ ada jalan menuju tujuan yang satu.
Maafkan dan hargai segala bentuk yang dituliskan.
#MgP, 26/01/2016
Catatan ini pertamakali dipublikasikan di Facebook.
Sumber gambar: moneysmart.id