Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Yang Terabaikan

Hal Penting

Ada banyak yang bisa kita tulis setiap harinya. Kita tak pernah terlepas dengan hal hal baru, baik yang kita dengar dari sumber di luar diri kita, atau pun dari suara suara kecil dari dalam diri kita. Namun, sesuatu yang penting terkadang terdengar seperti hal biasa saja, sehingga seringkali kita meremehkannya. Alhasil, sesuatu yang bernilai itu seketika hilang. Saya imgin mencontohkan satu hal. Kadang ketika di dalam salat, ada hal yang kau pikirkan. Dan itu timbul secara tiba tiba. Seusai salat, kadang kita melupakan hal itu. Kita sebetulnya sedang menyianyiakan sebuah petunjuk penting saat itu. Lain lagi ketika berada di kamar kecil. Entah sedang BAB, atau yang lain. Kita disuguhkan ide brilian. Sebab dalam posisi sedamai itu, otak merasa rileks dan bebas terbang menembus tembok raksasa di sekitar kita. Mungkin suatu nanti, perlu disediakan note dan bolpoin di kamar kecil, agar lebih banyak hal hal "aneh" yang bisa diaplikasikan. Begitu pun, seperti pengalamanku berikut

Di SPBU

Di SPBU. Saya paling merasa tidak betah di SPBU. Tapi saya menjalani ketidakbetahan itu setiap hari. Akhirnya waktu mengubah jadi tidak betah menjadi betah. Ketika sedang antre di SPBU, biasanya sebagai pengendara tentu kita melihat dulu jenis BBM apa yang digunakan. Ada Pertalite dengan nilai Oktan atau RON sebesar 90, Pertamax sebesar 92 dan Premium hanya memiliki Oktan 88. Tapi bukan bagian ini yang ingin saya cerita. Yang menjadi kegelisahan saya saat antre itu yang ingin saya tuangkan di sini. Saat antre, kendaraan motor yang begitu rapi. Tapi banyak orang yang selalu terburu buru ketika ingin mengisi bahan bakar. Entah karena sudah terlambat ke sekolah atau terlambat ke kantor bagi pekerja kantoran. Nah kadangkala saya juga merasakan hal itu. Ada hal genting yang ingin segera kutunaikan tapi kadang orang yang antre di bagian depan itu rese sekali. Sudah tahu ada banyak antrean di belakang, ia masih belum menyiapkan hal penting, seperti: turun dari motor, membuka kunci bagasi bah

Whatsappku sayang, whatsappku malang

Saya mulai bermain Whatsapp (WA) sekitar akhir 2015 atau awal 2016 silam. Ya saya memang bukan pengingat yang baik. Begitu pula ini menandakan saya terlambat menggunakan aplikasi ini dibanding dengan sejarah kemunculannya pada 24 Februari 2009. Hari ini begitu banyak yang menggunakan whatsapp. Bahkan menggeser popularitas BBM kala itu. Itulah sebabnya aplikasi ini berhasil mendapat lirikan dari pemilik aplikasi medsos terbesar, facebook. Sekarang masyarakat banyak yang menggunakan WA ini. Karena mudahnya mengirim pesan, dokumen, gambar bahkan melakukan panggilan video. Namun di balik itu ada beberapa hal yang saya kira mengganggu di dalam dunia per-WAsap-an ini. WAG WAG singkatan dari WhatsApp Group. Ya, grup di WA. Yang sangat jelek dari WAG ini yakni orang orang dengan mudahnya menambahkan kita untuk bergabung dalam satu grup. Saya pernah tiba tiba diundang untuk masuk di suatu grup yang, saya kira sangat tak ada manfaatnya berada di situ. Kekurangannya berlanjut, kita sulit

"Apa Kau Tak Lihat Lampu Itu Hijau?"

"Kenapa masih berhenti? Ayo jalan!" Barangkali itulah kalimat yang dipendam oleh orang orang yang sengaja membunyikan klakson ketika lampu lalu lintas baru saja menyala hijau. Saking terburu burunya, barangkali lagi, ia mengira bahwa pengguna jalan di depan akan tetap singgah berlama lama sambil menunggu lampu merah berikutnya. Apa iya? Haruskah ada orang yang rela diterkam panas matahari atau disergap dingin hujan yang lebih lama di bawah lampu lalu lintas? Apa ada? Semua orang pasti akan melaju, sayang! Masa ada yang mau habiskan permainan mobile legend-nya di 'lampu merah'? Ya manusia, yang punya otaaak. Nah begini saja. Pertama, jangan biasakan menyentuh klakson saat di lampu merah. Kedua, pikirkan, apa ada yang mesti lebih didahulukan dengan segera dibanding "ada kompor yang lupa dimatikan" atau "ada penagih utang yang sudah sejak lama berdiri di depan pintu rumah", ataukah lagi "ada anak gadis yang sudah meronta ront

Ketika Temanku Bertanya, "Kenapa Kamu Menikah?"

BARU BARU ini, ketika sedang bersantai di depan sebuah gedung bersama teman teman, kami mendiskusikan masalah pasangan dan jodoh. Saat asyik bercengkerama, tiba tiba salah seorang di antara mereka bertanya kepada saya: "Atas dasar apa kamu menikah? Bagi tipsnya dulue." Seketika kujawab, "Silakan tunggu buku saya tentang pernikahanku." Dia langsung diam, dan melanjutkan belajarnya. ___ Di sini, saya cuma mau bilang begini. Kau tak bisa meminta tips pernikahan yang baik, atau bagaimana cara bisa menikah dan menjalaninya dengan baik kepada setiap orang yang baru menikah. "Setiap orang punya jalan jodohnya sendiri sendiri." Saya tak bisa memberikanmu sebuah motivasi, laiknya saya seorang motivator. Barangkali yang bisa saya berikan adalah kisah yang saya jalani dan lakukan selama ini, dan itu baik kiranya kalau kau membacanya melalui tulisan tulisanku. Bukan lewat ucapanku langsung. Menjadi motivator itu.. Saya tak sanggup menerima

Waktu Cepat Berlalu

YA , sesuai judul tulisan ini. Hari ini, waktu memang terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa, senin datang lagi. Dan Minggu berlalu begitu cepat. Sama seperti hari Jum'at. Antara Jum'at yang satu dengan Jum'at berikutnya terasa seperti cuma sehari. "Deh, tidak dirasa waktu, senin mi lagi. Jum'at mi lagi. Deh cepat na waktu." Gumamku kadang di hadapan teman-teman. Dan rupanya, bukan cuma saya yang merasakan. Tapi yang lain pun demikian. Pertanyaannya. Kok bisa? Nah, itu dia.  Baru baru ini, seperti pengalamanku Jum'at kemarin, saya kembali merasakan hal itu. Tepat seusai salat Jum'at.  Hal paling sering yang kulakukan ketika habis Jumat yakni berdiam diri di masjid. Bukan karena ingin berzikir, tapi karena satu hal. Ingin melihat semangat anak anak memperebutkan makanan berupa roti yang dibagi pengurus masjid kepada jemaah. Ini terjadi tiap Jum'at di masjid Nurul Aqsa' Kallongtala', Gowa. Sepulang dari masjid

AKHIR BULAN YANG BERAKHIR PENUH DEBAR

Tak seperti bulan bulan sebelumnya. Ada yang berbeda di penghujung Agustus ini. Yang paling terasa adalah persoalan keuangan yang semakin hari makin menipis. Bahkan boleh dibilang sempat minus. Proses panjang kini sedang kami tempuh menuju ... ya semoga (masa depan yang cerah). Memang tak mudah dalam merintis. Berbulan bulan merasakan "kepahitan". Banting tulang mengerjakan banyak hal sekaligus. Memikirkan berbagai macam bidang. Sehingga efek seperti denyut di kepala kadangkala terasa sekali. Mulai awal Agustus ini hingga menjelang penghabisan yang penuh debar. Bahkan tanggal 30, semuanya menjadi puncak. Kemarahan, debar dan air mata sempat terasa. Bahkan pengeluaran terus mengalir deras tiap hari. Pemasukan nihil 1 rupiah pun di akhir itu. Banyak yang belum terbayar! Semuanya datang secara bersamaan. Tapi, lantas aku mesti marah pada dzat yang maha mengatur? Tentu tidak. Aku terus mengikuti skenario yang sedang diberikan untuk keluargaku dan untuk diriku secara pribad

Spesialisasi Gender di Hari Lebaran

LAKI LAKI itu datang sore hari. Mertuanya sudah menunggu sejak pukul satu siang. Pekerjaan dan jalan yang macet menjadi alasan basi laki laki itu kepada ibu istrinya. Ketika sampai, tak berselang lama, dilihatnya dua perempuan di rumah itu sedang sibuk menyiapkan makanan. Sang mertua perempuan dan adik ipar menguliti bawang merah. Istri laki laki itu kemudian turut membantu. Perempuannya memotong kentang dan segala macam rempah rempah. Laki laki itu ke tempat duduk. Tak lama berselang, tersedia makanan dan teh hangat di meja. Laki laki itu menyeruputnya. -Interval- Laki laki itu pun sibuk main hape. Melihat berita terkini yang hanya berisi pendapat orang orang di fesbuk. Orang orang sibuk dengan ucapan mohon maaf yang dikatakan berulang ulang. Setiap hari lebaran tiba, ucapan kopi paste itu pasti dituliskannya kembali. -interval- Kembali ke perempuan yang bekerja di dapur. Ibu dan dua anak perempuannya sudah hampir menyelesaikan makanan hari lebaran. Malam

Pulang Apa yang Kau Cari?

AKU kembali merasakannya. Setelah sekian lama kutulisi waktu. Perasaan yang entah. Pergi dan kembali. Ketika titik terendah menyapa, seakan tak bisa melakukan apa apa. Bahkan seolah diri tak mampu menerjemahkan kehendaknya sendiri. Apa definisi pulang? Masih berputar di pertanyaan itu. Apakah pulang adalah kembali bercermin kepada diri sendiri? Pulang yang berarti kembali menengok diri sekaligus mengorek sampai bersih sisa sisa kotoran dan kenangan di dalamnya? ATAU APA? Pulang apa yang kaucari?  Apakah pulang ke tempat di mana kau dibesarkan? Di mana kau masih ingat tanahnya, pasirnya, debu dan pohon pohon di sekelilingnya, di mana ada teman masa kanak kanak, tanah tempat kakimu berpijak saat kecil dulu? Tanah di mana kau bisa bermain sepanjang waktu dan tak takut kotor, meski seringkali ibumu melarang? Di mana kampung halamanmu? DI MANA? Ataukah kampung yang kau maksud, ada di dalam dirimu? Ketika kau benar benar telah dewasa, baru kau akan tahu? Pulang.., apaka

Kata yang Kupikirkan dan Kutuliskan dalam Lima Menit Pertama

Source: money.cnn.com Source: iconfinder Semangat Lelah Pusing Bingung Entah Komputer Sepi Cemburu Luka Masa Rindu Burung Angin Lampau Ulang tahun Senyum Peluk Kasih Tidur Manja Mengatur Mengajar Menepi Debu Belanja THR Kosong Perempuan Puisi Rugi Tertinggal Sembarang Biasa Hari Tulisan Opini Koran Meski Pulang Teman Sajak Buku Penerbit Usaha Kirim Mayor CV Jendela Ruang Huruf Rumah Kertas Mamuju Disuruh Kursi Jaringan Lupa Membayar Pakaian Songkok Hujan Pesawat Pergi Kota Kerja Dinas Digital Nyala Lampu Suara Ribut Hampir Habis Blog Portal Nah Tanda Seru

Hari Buku Nasional? Turunkan Harga Buku!

Tulisan sederhana dan singkat ini dibuat dalam rangka menanggapi opini berjudul Andaikan Buku Sepotong Roti yang ditulis   oleh Bachtiar Adnan Kusuma, Harian Fajar 17 Mei 2018. *** Source: int Kamis (17/5/2018) pagi menjelang siang, saya mengunjungi sebuah gerai center salah satu perusahaan operator telelomunikasi seluler di Indonesia. Sembari menunggu nomor antrian, saya melihat sebuah koran yang terparkir begitu saja. Karena merasa kasihan, akhirnya saya mengambil koran itu. Lalu membakarnya. Maksud saya, membacanya. :)  (serius sekali ki bela membaca, he he). Saya membuka halaman opini. Dan ya, saya menemukan tulisan terkait buku. Ditulis oleh seorang yang tidak asing lagi di dunia kepenulisan. Saya pernah dengar dari tetangga jika beliau ini sudah menulis ribuan buku (atau ratusan buku, entahlah. Maaf saya bukan pengingat yang baik). Oke lanjut ke opininya. Namanya Bachtiar Adnan Kusuma. Ia mengawali tulisannya dengan memakai sebuah kalimat yang mengan

Hari Pertama Ramadan: Antara Jarak, Macet, dan Pulang Rindu

HARI pertama bulan Ramadan merupakan momen spesial bagi seluruh masyarakat yang menjalankannya. Termasuk saya. Hari pertama ini, saya pulang menuju Bontonompo, kampung orangtua istri. Jaraknya kurang lebih 17 km atau 40 menit perjalanan. Dalam perjalanan, saya bersama istri yang melaju di sore hari menyaksikan pemandangan masyarakat yang ikut arus balik ramadan. Sungguh bulan suci umat muslim ini menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat yang ingin menjalin silaturahim bersama keluarga tercinta. Ya, sayangnya ramadan tahun ini berbeda 180 derajat. Jika tahun ini saya sudah bersama istri, tahun lalu saya masih sempat berpuasa pertama bersama orang tua dan adik, di Kabupaten Mamuju. Sungguh Mamuju pun bukan jarak yang dekat dari Sungguminasa, tempat tinggal saya. Untuk mencapai Mamuju, dibutuhkan kurang lebih waktu 9 jam perjalanan menggunakan roda empat (bus). Jaraknya sekitar 500 km. Tapi, hanya doa yang sampai buat orangtuaku. Di perjalanan, hal yang paling tampak adalah kera

Puisi, Perempuan, dan Cyberculture - Esai Mohd. Sabri AR

SEBUAH puisi lahir ketika semesta lambang, galaksi makna dan realitas bertaut. “ Les mots ne sont pos innocences ,”—tak ada kata-kata yang polos—begitu   pendakuan filsuf Prancis, Pierre Bourdieu. Selalu saja ada ruang yang tersisa pada kata: tafsir, hasrat, dan juga kuasa. Bahasa, bagi Bourdieu, bukan sekadar instrumen komunikasi dan modal kultural, tapi juga tindak-sosial. Itu sebab, kapasitas bahasa aktor sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya. Dr. Mohd. Sabri AR**   (Source: Kabarselatan.com)          Bahasa selalu diproduksi di dalam habitus dan “pasar linguistik”: sebuah arena tempat dimana wacana tercipta. Mungkin itu sebabnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), mengandaikan jika pasar linguistik memiliki language game dan form of life: bahwa setiap bahasa dalam kehidupan yang aneka punya aturan main dan arena yang khas. Senafas dengan Wittgenstein, Bourdieu meletakkan bahasa sebagai sebuah arena, kancah, dan juga pertarungan. Di setia

Saya

My photo
M. Galang Pratama
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Anak dari Ibu yang Guru dan Ayah yang Petani dan penjual bunga.

Tayangan Blog